Empirisme

Salah satu konsep mendasar tentang filsafat ilmu adalah empirisme, atau ketergantungan pada bukti. Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman yang kita alami selama hidup kita. Di sini, pernyataan ilmiah berarti harus berdasarkan dari pengamatan atau pengalaman. Hipotesa ilmiah dikembangkan dan diuji dengan metode empiris, melalui berbagai pengamatan dan eksperimentasi. Setelah pengamatan dan eksperimentasi ini dapat selalu diulang dan mendapatkan hasil yang konsisten, hasil ini dapat dianggap sebagai bukti yang dapat digunakan untuk mengembangkan teori-teori yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena alam.

Pengalaman ialah hasil persentuhan alam dengan panca indra manusia. Berasal dari kata pengalam-an. Pengalaman memungkinkan seseorang menjadi tahu dan hasil tahu ini kemudian disebut pengetahuan [1] Pengetahuan yang berdasarkan pengalaman juga diketahui sebagai pengetahuan empirikal atau pengetahuan posteriori. Seorang dengan cukup banyak pengalaman di bidang tertentu dipanggil ahli.



.Dalam sains dan metode ilmiah, empiris berarti suatu keadaan yang bergantung pada bukti atau onsekuensi yang teramati oleh indera. Data empiris berarti data yang dihasilkan dari percobaan atau pengamatan. Dalam statistika, kuantitas "empiris" berarti nilai-nilai yang berasal dari pengamatan atau percobaan. Nilai ini berlawanan arti dengan kuantitas "teoretis" yang diturunkan dari analisis teoretis.Dalam dunia kerja istilah pengalaman juga digunakan untuk merujuk pada pengetahuan dan ketrampilan tentang sesuatu yang diperoleh lewat keterlibatan atau berkaitan dengannya selama periode tertentu. Secara umum, pengalaman menunjuk kepada mengetahui bagaimana atau pengetahuan prosedural, daripada pengetahuan proposisional.



Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.



Empirisme atau Environtalisme, dengan tokohnya antara lain John Locke (1632-1704 M) dan J. Herbart (1776-1841 M). Aliran ini berpandangan bahwa manusia lahir hanya membawa bahan dasar yang masih suci namun belum berbentuk apapun, bagaikan papan tulis yang masih bersih belum tertulisi (Tabula Rasa, Locke ) atau sebuah bejana yang masih kosong (Herbart). Atas dasar itu, pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu proses pembentukan dan pengisian pribadi peserta didik ke arah pola yang diinginkan dan diharapkan lingkungan masyarakatnya. Pandangan ini diidentifikasikan sebagai konsepsi pendidikan yang cenderung optimistik.



John Locke (29 Agustus 1632 – 28 Oktober 1704) adalah filsuf dari Inggris dengan pandangan empirisme. Ia sering disebut sebagai tokoh yang memberikan titik terang dalam perkembangan psikologi. Teori yang sangat penting darinya adalah tentang gejala kejiwaan adalah bahwa jiwa itu pada saat mula-mula seseorang dilahirkan masih bersih bagaikan sebuah "tabula rasa".

George Berkeley adalah seorang filsuf Irlandia yang juga menjabat sebagai uskup di Gereja Anglikan.[1] Bersama John Locke dan David Hume, ia tergolong sebagai filsuf empiris Inggris yang terkenal.[1] Ia dilahirkan pada tahun 1685 dan meninggal pada tahun 1753.[1] Berkeley mengembangkan suatu pandangan tentang pengenalan visual tentang jarak dan ruang.[1] Selain itu, ia juga mengembangkan sistem metafisik yang serupa dengan idealisme untuk melawan pandangan skeptisisme.[1]



Inti pandangan filsafat Berkeley adalah tentang pengenalan.[2] Menurut Berkeley, pengamatan terjadi bukan karena hubungan antara subyek yang mengamati dan obyek yang diamati.[2] Pengamatan justru terjadi karena hubungan pengamatan antara pengamatan indra yang satu dengan dengan pengamatan indra yang lain.[2] Misalnya, jika seseorang mengamati meja, hal itu dimungkinkan karena ada hubungan antara indra pelihat dan indra peraba.[2] Indra penglihatan hanya mampu menunjukkan ada warna meja, sedangkan bentuk meja didapat dari indra peraba.[2] Kedua indra tersebut juga tidak menunjukkan jarak antara meja dengan orang itu, sebab yang memungkinkan pengenalan jarak adalah indra lain dan juga pengalaman.[2] Dengan demikian, Berkeley mengatakan bahwa pengenalan hanya mungkin terjadap sesuatu yang kongkret.[2]



David Hume (26 April, 1711 – 25 Agustus, 1776[1]) adalah filsuf Skotlandia, ekonom, dan sejarawan. Dia dimasukan sebagai salah satu figur paling penting dalam filosofi barat dan Pencerahan Skotlandia. Walaupun kebanyakan ketertarikan karya Hume berpusat pada tulisan filosofi, sebagai sejarawanlah dia mendapat pengakuan dan penghormatan. Karyanya The History of England[2] merupakan karya dasar dari sejarah Inggris untuk 60 atau 70 tahun sampai Karya Macaulay.[3]



Hume merupakan filusuf besar pertama dari era modern yang membuat filosofi naturalistis. Filosofi ini sebagian mengandung penolakan atas prevalensi dalam konsepsi dari pikiran manusia merupakan miniatur dari kesadaran suci; sebuah pernyataan Edward Craig yang dimasukan dalam doktrin 'Image of God'.[4]Doktrin ini diasosiasikan dengan kepercayaan dalam kekuatan akal manusia dan penglihatan dalam realitas, dimana kekuatan yang berisi seritikasi Tuhan. Skeptisme Hume datang dari penolakannya atas ideal didalam'.[5]



Hume sangat dipengaruhi oleh empirisis John Locke dan George Berkeley, dan juiga bermacam penulis berbahasa Perancis seperti Pierre Bayle, dan bermacam figur dalam landasan intelektual berbahasa Inggris seperti Isaac Newton, Samuel Clarke, Francis Hutcheson, Adam Smith, dan Joseph Butle



Empirisme 2

Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricismdan experience.13 Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani ?µpe???a(empeiria) dan dari kata experietia14 yang berarti “berpengalaman dalam”,“berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Sementara menurut A.R. Lacey15



berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yangberpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkankepada pengalaman yang menggunakan indera.Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenaiEmpirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicaridalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yangdibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalahsatu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal.16

Menurut aliran ini adalah tidak mungkin untuk mencari pengetahuan mutlakdan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita terdapat kekuatan yang dapatdikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebihlambat namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas denganmengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai peluang besaruntuk benar, meskipun kepastian mutlak tidak akan pernah dapat dijamin.17Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusiadapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkanseorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itukepada saya”. Dalam persoalan mengenai fkta maka dia harus diyakinkan olehpengalamannya sendiri. Jika kita mengatakan kepada dia bahwa seekor harimaudi kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk menjelaskan bagaimana kitadapat sampai kepada kesimpulan tersebut. Jika kemudian kita mengatakan bahwakita melihat harimau tersebut di dalam kamar mandi, baru kaum empiris akanmau mendengar laporan mengenai pengalaman kita, namun dia hanya akanmenerima hal tersebut jika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan jalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri.18Seperti juga pada Rasionalisme, maka pada Empirisme pun terdapatbanyak tokoh pendukungnya yang tidak kalah populernya. Tokoh-tokohdimaksud di antarnya adalah David Hume, John Locke dan Bishop



Empirisme David Hume

David Hume lahir di Edinburg, Skotlandia pada 1711.33 Ia pun menempuhpendidikannya di sana. Keluarganya berharap agar ia kelak menjadi ahli hukum,tetapi Hume hanya menyenangi filsafat dan pengetahuan. Setelah dalam beberapatahun belajar secara otodidak, ia pindah ke La Flèche, Prancis (tempat di manaDescartes menempuh pendidikan).34 Sejak itu pula hingga wafatnya 1776 ia lebih banyak menghabiskan waktu hidupnya di Prancis.



Sebagaimana Descartes, Hume juga meninggalkan banyak tulisan berikut:

Usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak danpasti telah berlangsung secara terus menerus. Namun, terdapat sebuah tradisiepistemologis yang kuat untuk mendasarkan diri kepada pengalaman manusiayang meninggalkan cita-cita untuk mendapatkan pengetahuan yang mutlak danpasti tersebut, salah satunya adalah Empirisme.Kaum empiris berpandangan bahwa pengetahuan manusia dapat diperolehmelalui pengalaman. Hume seperti layaknya filosof Empirisme lainnya menganutprinsip epistemologis yang berbunyi, “nihil est intelectu quod non antea fuerit insensu” yang berarti, “tidak ada satu pun ada dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat pada data-data inderawi”.37Hume melakukan pembedaan antara kesan dan ide. Kesan merupakanpenginderaan langsung atas realitas lahiriah, sementara ide adalah ingatan atas kesan-kesan.



Menurutnya, kesan selalu muncul lebih dahulu, sementara idesebagai pengalaman langsung tidak dapat diragukan.38Dengan kata lain, karenaide merupakan ingatan atas kesan-kesan, maka isi pikiran manusia tergantungepada aktivitas inderanya.Kesan maupun ide, menurut Hume, dapat sederhana maupun kompleks.Sebuah ide sederhana merupakan perpanjangan dari kesan sederhana. Begitu pulaide kompleks merupakan kelanjutan dari kesan kompleks. Tapi, dari ide kompleks dapat diturunkan menjadi ide sederhana.39



Pikiran kita menurut Hume bekerja berdasarkan tiga prinsip pertautan ide.Pertama, prinsip kemiripan yaitu mencari kemiripan antara apa yang ada dibenak kita dengan kenyataan di luar. Kedua,prinsip kedekatan yaitu kalau kita memikirkan sebuah rumah, maka berdasarkan prinsip kedekatan kita jugaberpikir tentang adanya jendela, pintu, atap, perabot sesuai dengan gambaranrumah yang kita dapatkan lewat pengalaman inderawi sebelumnya. Ketiga,prinsip sebab-akibat yaitu jika kita memikirkan luka, kita pasti memikirkan rasasakit yang diakibatkannya.40Hal-hal di atas mengisyaratkan bahwa ide apa pun selau berkaitan dengankesan. Karena kesan berkaitan langsung dengan pengalaman inderawi atas realitas maka ide pun harus sesuai dengan relitas yang ditangkap pengalamaninderawi.Berdasarkan prinsip epistemologinya, Hume melancarkan kritik kerasterhadap asumsi epistemologi warisan filsafat Yunani kuno yang selalumengklaim bahwa pengetahuan kita mampu untuk menjangkau semestasesungguhnya. Hume mengemukakan bahwa klaim tentang semestasesunguguhnya di balik penampakan tidak dapat dipastikan melalui pengalamanfaktual maupun prinsip non-kontradiksi.41



Kritik Hume diejawantahkan dalam sikap skeptisnya terhadap hukum sebabakibat yang diyakini oleh kaum rasionalis sebagai prinsip utama pengatursemesta.42 Kenicayaan hubungan sebab akibat tidak pernah bisa diamati karenasemuanya masih bersifat kemungkinan.Hubungan sebab akibat, menurut Hume, didapatkan berdasarkan kebiasaandan harapan belaka dari peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan satu sama lain.Orang sudah terbiasa di masa lalu melihat peristiwa matahari terbit di Timurselalu diikuti oleh peristiwa tenggelam di Barat dan ia akan mengharapkanperistiwa yang sama terjadi di masa yang akan datang. Bagi Hume, ilmupengetahuan tidak pernah mampu memberi pengetahuan yang niscaya tentangdunia ini. Kebenaran yang bersifat apriori seperti ditemukan dalam matematika,logika dan geometri memang ada, namun menurut Hume, itu tidak menambahpengetahuan kita tentang dunia. Pengetahuan kita hanya bisa bertambah lewatpengamatan empiris atau secara aposteriori.



revolusi copernican kant

ia mengatakan bahwa sejumlah sintetis memperoleh klaim, seperti yang dari geometri dan ilmu pengetahuan, adalah benar karena struktur pemikiran mereka yang mengetahui. “Setiap kegiatan harus memiliki menyebabkan” tidak dapat dibuktikan dengan pengalaman, tetapi pengalaman adalah mustahil karena tanpa menjelaskan jalan pikiran harus selalu dengan pernyataan pesanan. Menurut rasional dan Empiricist tradisi, pikiran adalah pasif baik karena menemukan sendiri memiliki pembawaan lahir, juga dibentuk ide-siap untuk analisa, atau karena menerima ide obyek menjadi semacam teater kosong, kosong atau kritik pedas. wawasan penting di sini adalah untuk menyatakan bahwa pengalaman dunia seperti yang telah kita hanya mungkin jika pikiran memberikan proses sistematis dengan pernyataan. Ini adalah proses di bawah tingkat, atau sebelum logis, yang mental pernyataan bahwa Empiricists dan Rationalists dianalisa. epistemik dan teori metafisik tidak dapat secara memadai menjelaskan jenis Hukum atau pengalaman kami karena mereka hanya dianggap sebagai hasil dari pikiran’s interaksi dengan dunia, tidak sifat dari pikiran kontribusi. Kant berpendapat dalam sanggahan Bahan idealisme yang “Ada benda yang ada di ruang dan waktu di luar ,” yang tidak dapat dibuktikan dengan memperoleh atau metode posteriori, yang diperlukan adalah kondisi kemungkinan yang menyadari dari satu keberadaan sendiri. Argumen ini adalah salah satu argumen yang teramat banyak Kant yang berfokus pada memberikan sumbangan pemikiran untuk membuat sendiri berkongsi pengalaman. Argumen ini untuk memimpin Kant menyimpulkan bahwa Empiricists’ penegasan bahwa pengalaman adalah sumber dari semua ide kami. Jika terdapat fitur pengalaman yang membawa pikiran ke objek daripada yang diberikan oleh pikiran ke benda, yang akan menjelaskan mengapa mereka yg diperlukan untuk pengalaman tetapi unsubstantiated di dalamnya. Dan yang akan menjelaskan mengapa kami dapat memberikan argumen transendental untuk kebutuhan fitur tersebut. “ Kant berpikir bahwa Berkeley dan Hume setidaknya teridentifikasi bagian dari pikiran’s kontribusi untuk memperoleh pengalaman dengan daftar klaim bahwa mereka telah berkata unsubstantiated pada dasar empiris: “Setiap kegiatan harus berpangkal,” “Ada pikiran-benda independen yang mendesakkan dari waktu ke waktu, “dan” identik mata pelajaran berlangsung. Empiricist proyek yang harus lengkap ini sejak klaim yang harus kami di presupposed Hukum, titik Berkeley dan Hume gagal untuk melihat. Jadi, Kant berpendapat bahwa penyelidikan filosofis ke dalam sifat dari dunia eksternal harus sebagai sebuah pertanyaan ke banyak fitur dan kegiatan pikiran yang mengetahui itu.



Gagasan bahwa pikiran juga berperan aktif dalam proses kenyataannya sangat akrab untuk kami sekarang yang sulit bagi kami untuk melihat apa wawasan ini sangat penting untuk Kant. Dia juga menyadari ide kuasa untuk menggulingkan falsafah worldviews kita berlanjut dan predecessors, namun. Dia bahkan sedikit immodestly likens itu untuk situasi yang Copernicus dalam pemikiran revolutionizing kami. Pada Lockean melihat, mental konten diberikan kepada pikiran oleh objek di dunia. Properti mereka bermigrasi ke dalam pikiran, pengungkapan yang benar sifat objek. Kant mengatakan, “Sejauh ini telah diasumsikan bahwa semua pengetahuan kami harus ke objek” . Tetapi pendekatan yang tidak dapat menjelaskan mengapa beberapa klaim seperti, “setiap acara harus berpangkal,” adalah memperoleh benar. Demikian pula, Copernicus diakui bahwa pergerakan bintang-bintang tidak dapat dijelaskan dengan membuat mereka berputar di sekitar pengamat; itu adalah pengamat yang harus berputar. Kant berpendapat bahwa kita harus merumuskan kembali cara kami berpikir tentang hubungan kami ke objek. Ini adalah pikiran itu sendiri yang memberikan benda setidaknya beberapa karakteristik mereka karena mereka harus mendukung struktur konseptual dan kapasitas. Dengan demikian, pikiran’s peran aktif dalam membantu untuk menciptakan sebuah dunia yang experiencable harus meletakkannya di pusat penyelidikan kami filosofis. Mulai tempat yang sesuai untuk setiap pertanyaan filosofis ke pengetahuan, memutuskan Kant, adalah dengan pikiran yang dapat yang memiliki pengetahuan.



Kant kritis berbelok ke arah pemikiran yang Mengetahui yang ambisius dan menantang. Kant telah menolak metafisika dogmatis dari Rationalists yang menjanjikan supersensible pengetahuan. Dan ia telah menyatakan bahwa keterbatasan empirisme wajah serius. “ Dalam konteks ini, menentukan “transendental” komponen pengetahuan berarti menentukan, “semua pengetahuan yang tidak sibuk dengan begitu banyak objek seperti dengan cara obyek pengetahuan kami di sejauh ini modus pengetahuan adalah mungkin untuk memperoleh. ” Alasan ini juga menantang karena di analisis dari pikiran yang teramat kontribusi untuk pengalaman kami harus mempekerjakan pikiran, satu-satunya alat yang kami miliki, untuk menyelidiki pikiran. Kami harus menggunakan pengetahuan untuk menentukan batas pengetahuan, sehingga sebuah kritik yang mengambil alasan murni sebagai materi pelajaran, dan sebuah kritik yang dilakukan oleh alasan.



“Kant beragumen bahwa pikiran membuat kontribusi untuk memperoleh pengalaman harus tidak dikelirukan untuk argumen seperti Rationalists’ bahwa pikiran mempunyai ide seperti asli, “Allah adalah yang sempurna. Kant menolak klaim yang lengkap seperti ini satu ukiran pada kain dari pikiran. Dia berpendapat bahwa pikiran memberikan struktur formal yang memungkinkan untuk konsep dalam Hukum.



Dengan demikian metafisika gnoseologi Kant ini merupakan sebuah upaya untuk mereduksi realitas kongkrit (inderawi) pada realitas di dalam akal budi. Bahwa akal budi manusia mempunyai struktur-struktur pengetahuan mengenai segala apa yang ada. Dalam pandangan Kant, objek itu nampak hanya dalam kategori subjek, jadi tidak ada cara lain kecuali mengetahuinya dengan struktur kategori akal budi manusia. Sebenarnya pemikiran Kant ini berangkat dari pemahamanya tentang hakikat realitas atau neumena itu tidak pernah diketahui , yang kita ketahui itu gejalahnya.



Empirisme dan Positivisme



Judul lengkap makalah yang disajikan oleh Budiono Kusomohamidjojo adalah „Empirisme dan Positivisme: Mengungkap Relevansi Aktual“. Praktisi hukum (seorang pengacara berpraktek di Jakarta) sekaligus guru besar Fakultas Filsafat Unpar ini mengungkap kronologi munculnya empirisme, dilanjut dengan skeptisisme, perkembangan empirisme di abad pertengahan, dilanjutkan dengan tegangan antara empirisme versus rasionalisme. Menarik juga ketika beliau selanjutnya membahas empirisme Inggris dengan tokoh-tokohnya yang berpandangan cukup ekstrem dan masih diadaptasi sampai sekarang, walaupun banyak pertentangan di dalamnya.

Bicara tentang rasionalisme, tidak bisa tidak untuk tidak bicara tentang Sintesis Immanuel Kant. Dalam beberapa hal, Pak Budi yang seorang Doktor der Philosophie dari Staatsuniversität Würzburg ini -menurut saya- sangat Jerman dan Kantian. Terlihat dari makalahnya :) Bahasan berikutnya adalah positivisme Perancis dan yang tidak terlalu banyak dibahas karena waktu hampir habis adalah positivisme abad ke-20. Der Wiener Kreis yang memrakarsai pandangan „neo-positivisme“ sebagai upaya lanjutan „mendamaikan“ empirisme dan rasionalisme hanya dibahas sekilas. Untuk tahu sedikit lebih banyak, baca saja makalahnya Pak Budi atau bisa juga baca di sini. Bapak ini sudah menuliskannya :)



Salah satu bagian makalah yaitu tentang positivisme dalam hukum dilewat juga, padahal menurut saya ini mungkin akan jadi bahasan paling menarik mengingat Pak Budi adalah seorang praktisi hukum juga. Saya ingin tahu lebih banyak, bagaimana suatu kasus hukum dilihat dari sudut filsafat. Pertanyaan dan bahasan ini memang akhirnya muncul dalam sesi diskusi, tapi lagi-lagi karena keterbatasan waktu bahasannya menjadi tidak terlalu mendalam. Mungkin perlu ada sesi khusus atau mungkin seminar khusus untuk membahas atau mengupas beberapa kasus hukum dari sudut filsafat.



Sesi diskusi berjalan cukup hangat, walaupun ada beberapa ketidakpuasan dari sana-sini, sehingga ada yang sempat „panas“. Tidak ingin menyoroti itu, yang ingin saya soroti adalah beberapa komentar Pak Budi untuk beberapa pandangan ekstrem seperti pandangan Hume, Locke dan Comte yang sering diadaptasi begitu saja tanpa memerhatikan konteks di mana kita berada. Seringkali kita terlalu sering mengagungkan positivisme dan rasionalisme Barat (diasumsikan ada „Barat“ dan „Timur“ :)) dengan mengabaikan sistem dan cara berpikir Timur yang acapkali mencampurbaurkan tahap-tahap pencapaian pengetahuan sebagai proses yang mengalir begitu saja, tanpa merasa perlu menggunakan pola pikir dialektik. Padahal pada akhirnya kita sampai pada banyak batasan, termasuk batasan rasio. Saya selalu setuju bahwa semakin banyak kita „merasa“ tahu, sebenarnya semakin banyak pula yang kita tidak tahu. Mungkin bahkan lebih banyak yang tidak kita ketahui daripada yang kita ketahui (natürlich :)).

Anyway, setelah dua kali tidak ikut kuliah, kuliah kemarin malam memberikan beberapa „pencerahan“ dan menyisakan banyak pertanyaan. Seperti biasa :) Dan ini yang membuat „hidup lebih hidup“ (kalau kata iklan).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal-Usul Desa Ngrayun

Proposal Pelatihan Kader Dasar PK.PMII Sunan Giri Ponorogo 2011

Neptu dino lan pasaran