Al Ghozali Kerancuhan Filsafat

Al-Ghazali "Tahafuz Falasifah/Kerancuan Filsafat"


for everyone

AL-IMAM AL-GHAZZALI : MELACAK JEJAK

SEBAGIAN PEMIKIRANNYA

1. Sekilas Tentang Riwayat Hidup Imam al-Ghazzali

Tokoh yang juga sering disebut al-Ghazzali (za’ tasydid) yang berasal dari kata Ghazzal yang berarti tukang pintal benang karena ayahnya adalah tukang pintal benang wol, dilahirkan tahun 450H/1058M di kota Thus sekarang Meshed, Iran[1], ia wafat pada 14 Jumadil Akhir 505H (18 Desember 1111M, ia menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 55 tahun[2].. Ia beranjak menjadi remaja yang terkenal cerdas dan berkemauan tinggi. Setelah belajar pada tokoh-tokoh yang berbeda di zamannya di kota Thus, ia melanjutkan kehausannya akan ilmu ke kota-kota di Asia Tengah. Baru setelah ia dikenal sebagai tokoh yang kredibel ia diangkat sebagai Guru Besar pada madrasah an-Nidhomiyah Bagdad yang didirikan oleh Wazir Nizam al-Mulk[3].

Pada masa di ataslah al-Ghazzali menyampaikan pikiran-pikirannya dan serangan-serangannya pada paham non-kerajaan (Penganut Madhab Syafi’I dan Asy’ary) seperti aliran batiniyah dan kaum filosof yang dinilai telah lepas dai syari’at dan tiada mengindahkan perintah kerajaan sehingga membuat aliran batiniyah kebakaran jenggot[4].

2. Karya-karya Al-Ghazzali yang memiliki pengaruh bagi pemikiran umat Islam selanjutnya sebagi berikut;

a. Ihya Ulumu al-Din, berisikan kumpulan pokok-pokok agama dan aqidah, ibadah, akhlak, dan kaidah-kaidah suluk.

b. Al-Iqtishod fi al- I’tiqod, uraian aqidah menurut aliran al-Asy’ariah

c. Maqosid al-Falasifah, berisikan pronsip-prinsip filsafat; ilmu manthiq, alam, dan ke-Tuhan-an..

d. Al-Munqiz min ad-Dhalal, uraian tentang kesepakatan ilmu yang mewarnai zamannya dan berbagai lairan penting. Ilmu dan aliran-aliran tersebut dikaji secara kritis, dengan penjelasan kelebihan dan kekurangan masing-masing aliran.

e. Mizan al-‘amal, berisikan tentang Mizan (timbangan) amal-akhlak

f. Tahafuz al-Falasifah (Kerancuan para Filosof), berisikan keritikan al-Ghazzali pada para filosof.[5]

3. Duapuluh Serangan al-Ghazzali

Tahafut al-falasifah adalah kitab yang dibuat oleh al-Ghazali saat ia menjabat di Madrasah an-Nidhomiyah Bagdad. Isi dari Tahafut al-Falasifah adalah sanggahan-sanggahan al-Ghazzali pada hasil pemikiran filsafat Yunani yang dibawa oleh Ibnu sina dan Ibnu Arabi’

Terdapat 20 perkara pemikiran filsafat yang dikritik dan coba diruntuhkan oleh al-Ghazzali. Dalam 20 persoalan tersebut terdapat 3 persoalan yang oleh al-Ghazzali yang dibantah logikanya dan dibantah hasil pemikirannya serta dikafirkan jika mempercayainya, yaitu keqodiman Alam, Allah tidak mengetahui partikularia-partikularia dan pengingkaran filsuf akan kebangkitan jasmani di hari akhir. Sedang 17 persoalan sisa adalah persoalan-pesoalan yang dibantah logikanya tapi belum tentu subtansinya.

Sebenarnya logika al-Ghazzali dalam mengemukakan pendapatnya bukanlah hal yang asing bagi kita, karena para ilmu kalam abad pertengahan yang diajarkan di pesantren juga menggunakannya dalam menjelaskan persoalan ilmu tauhid.

Dua Puluh Sangahan Al-Ghazzali terhadap para filosof , sebagai berikut [6]:

1. Sanggahan terhadap teori keabadian (abadiyah) Alam, masa dan ruang.

Disini al-Ghazzali menyanggah teori emanasi Ibnu Sina. Bagi al-Ghazali Alam adalah sesuatu yang baru (hudust) dan bermula dan yang qodim hanyalah satu yaitu Allah.

2. Sanggahan terhadap teori keabadian (abadiyah) Alam, masa dan ruang.

Seperti yang kita tahu dalam filsafat; benda(materi), masa(waktu) dan ruang adalah timbul pada saat bersamaan dengan materi, masa adalah ukuran jarak waktu dari materi dan ruang adalah dimana materi berada. Bagi filsuf benda (materi) itu abadi (mungkin sama dengan keabadian energy dalam fisika). al-Ghazzali membantah keniscayaan tersebut, baginya jika Allah berkehendak untuk menghancurkan Alam dan meniadakannya (I’dam) maka hancurlah Alam ini dan tiada pulalah ia.

3. Kerancuan para filsuf dalam menjelaskan bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaannya, dan keterangan bahawa hal tersebut adalah majaz (perumpamaan) dan bukan hakikatnya.

Disini kritik al-Ghazzali lebih pada pendapat filsuf yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat. Dan jika Allah adalah pencipta seperti apa yang kita ketahui selama ini, maka pencipta haruslah berkehendak terlebih (murid) dahulu, yang memilih (mukhtar), dan mengetahui dengan apa yang dikehendakinya. Sehingga Tuhan menjadi Fa’il (Pelaku) akan apa yang dikehendakiNya. Dan bagi para Filsuf Tuhan tiadalah dzat yang berkehendak (murid) karena kehendak adalah sifat sedangkan Tuhan adalah dzat yang suci dari segala sifat. Dan sesuatu yang timbul dari-Nya adalah sesuatu kosekwensi yang mesti (luzum dlaruri).

Hal kedua bagi filsuf yang tidak mungkin terjadi karena alam adalah qodim adapun fi’il (perbuatan) adalah baru (hadist).

Ketiga, Tuhan satu dan tidak timbul darinya kecuali yang satu dan alam murakkab (berjumlah/bersusun) dari banyak segi. Maka menurut para filsuf bagaimana mungkin sesuatu yang murakkab dapat timbul dari sesuatu yang satu? Dan al-Ghazzali menolak ketiga hal di atas.

4. Ketidakmampuan Filsuf untuk membuktikan ada(wujud)nya pencipta alam.

Disini al-Ghazzali mempertanyakan tesa yang menyatakan bahwa Alam qodim, tapi ia diciptakan. Dan bagi al-Ghazzali ini adalah perpaduan pendapat antara ahlu al-haq yang menyatakan alam adalah hadist, dan yang hadist pasti ada penciptanya dan kaum Atheis (Dahriyah) yang menyatakan bahwa Alam adalah qodim maka ia tidak membutuhkan pencipta. Bagi al-Ghazzali pendapat para filsuf tersebut secara otomatis batal.

5. Kelemahan para filsuf dalam mengemukakan dalil (rasional) bahwa Tuhan adalah satu dan kemustahilan adanya dua Tuhan, wajib al-wujud, yang masing-masing tiada illah (sebab).

Al-Ghazzali menantang segala hal dalam pembuktian para filsuf tersebut. Bagi al-Ghazzali yang ditolak adalah logika-logika yang dipakai dan bukan pada subtansi persoalan.

6. Sanggahan tentang tiadanya sifat bagi Tuhan.

Bagi para filsuf, Tuhan harus dibersihkan dari segala berkehitungan (muta’addidah), termasuk segala sifat yang oleh kaum asy-‘Ariyah selama ini dilekatkan pada Tuhan. Jika sifat ada bersamaan dengan Tuhan maka ada saling ketergantungan antar keduanya, dualisme Tuhan adalah hal yang mustahil, apalagi jika ditambah dengan dengan af’al.

Al-Ghazzali menolak argument ini, dan menyatakan kelemahan pendapat para filsuf tentang ketiadaan sifat Tuhan. Bagi al-Ghazzali hal ini ditolak karena sifat adalah hal yang niscaya ada pada dzat tapi bukan berarti ia menjadi sesuatu yang lain dari dzat.

7. Sanggahan terhadap teori bahwa dzat Tuhan mustahil didefinisikan.

Para Filsuf berpendapat definisi itu mengandung dua aspek; jins (genus) dan fashl (diferensia), dan Tuhan adalah dzat yang tidak mungkin ber-musyarakah dalam jins dan ia tidak dibagi dalam fashl. Keduanya adalh komposisi dan Tuhan mustahil berkomposisi.

Bagi al-Ghazzali bisa saja komposisi “bagian-bagian” itu terjadi dari segi definitive. Hal ini karena al-Ghazzali menerima adanya sifat-sifat bagi Tuhan.

8. Batalnya pendapat Filsuf: Wujud Tuhan sederhana, maksudnya wujud Tuhan adalah wujud yang murni, bukan mahiyah(hakikat sesuatu-al-kautsar) dan bukan hakikat yang wujud Tuhan disandarkan padanya. Tapi wujud al-wajib seprti mahiyah bagi yang lainnya.

Al-Ghazzali menyangkal semua analogi folosuf baik tentang mahiyah, hakikat, dan wujud al-wajib yang menurut al-Ghazzali mengulangi kerancuan yang sama. Al-Ghazli mempertanyakan segala metode yang dipakai dalam menelurkan pemikiran tersebut dan menganggapnya sebagisuatu kesalahan para filsuf.

9. Ketidakmampuan filsuf untuk membuktikan, dengan arumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism).

Hal ini berangkat dari adanya tubuh eternal (jism qodim) yang diterima oleh kalangan Filsuf. Hal ini bagi al-Ghazali adalh hal yang rancu karena jism adalah hadist karena ia tersusun dari diferensia (fashl-fashl). Jika Filsuf mengelak dengan mengatakan bahwa wajib al-Wujud adalah satu jadi ia tidak dapat dibagi-bagi seperti yang lainnya. Hal ini pun menurut al-Ghazzali adalah logika yang dipaksakan karena hal iu berangkat dari persepsi tentang kemustahilan komposisi (tarkib), dan penolakan terhadap komposisi didasarkan pada penolakan terhadap mahiyah (kuiditas-terj).

10. Ketidakmampuan Filsuf untuk membuktikan , melalui dalil rasional, adanya sebab atau pencipta alam.

Hal ini bagi al-Ghazzali masih berupa kerancuan para Filsuf yang mempertahankan pendapat tentang ke qodim an Alam tapi ia diciptakan. Menurut al-Ghazzali mengapa mereka tidak berkata seperti kaum Atheis saja yang mengatakan Alam itu qodim dan tiada memerlukan pencipta, karena suatu sebab hanya diperlukan bagi hal yang bermula di dalam waktu (hadist).

11. Kelemahan pendapat para filsuf yang mengatakan bahwa Tuhan mengetahui yang lainnya dan bahwa Dia mengetahui Species (al-anwa) dan Genera (jins) secara universal (bi naui kulliat).

Para filsuf mengatakan bahwa Tuhan mengetahui al-Anwa dan al-Jins secara kulliat karena emanasi yang terjadi padanya hanya secara universal bukan individu-individu atau pribadi-pribadi.

Akan tetapi al-Ghazali memberikan sanggahan bahwa Tuhan menciptakan alam dengan Kehendaknya, maka alam menjadi objek kehendak, sangat mustahil objek kehendak tidak diketahui oleh yang berkehendak.

12. Ketidakmampuan para filsuf untuk membuktikan bahwa Tuhan juga mengetahui Dirinya sendiri.

Persoalan ini berpangkal pada pendapat para filsuf yang mengatakan bahwa alam beremanasi secara alami, bukan atas kehendak, seperti emanasi sinar matahari dari matahari.

Sanggahan yang diberikan oleh al-Ghazali adalah apabila sesuatu yang beremanasi dari Tuhan mengetahui dirinya sendiri bagaimana mungkin Tuhan sebagai asal emanasi tidak mengetahui diri-Nya sendiri, karena Tuhan menyadari akan adanya emanasi tersebut, sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.

13. Gugurnya pendapat para Filsuf bahwa Tuhan tidak mengetahui Partikularia-partikularia yang dapat dibagi-bagi sesuai dengan pembagian waktu ke dalam “telah”, “sedang” dan “akan”.

Pendapat para filsuf bahwa Pengetahuan mengikuti objek pengetahuan, apabila objek berubah, maka pengetahuan juga berubah, apabila pengetahuan berubah maka subjek pun juga berubah. Perubahan yang terjadi pada suatu benda akan menyebabkan pengetahuan atas benda itu juga berubah demikian juga subjek yang mengetahui perubahan itu. Akan tetapi, mustahil Tuhan berubah karenanya Ia tidak mengetahui perubahan-perubahan sesuatu yang terjadi dalam waktu.

Tak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya, tetapi pengetahuan-Nya tentang hal tersebut tetap sama, baik sebelum terjadinya suatu perubahan, sedang terjadi maupun setelah terjadinya. Inilah argumen al-Ghazali mengenai hal itu.

Ditambahkan oleh al-Ghazali bahwa pendapat para filsuf mengenai hal ini bertentangan dengan pendapat mereka sebelumnya yang mengatakan bahwa alam qadim, sesuatu yang qadim tidak dapat berubah. Mengapa ia berubah? Maka para filsuf harus mengubah pendapatnya mengenai keqadiman alam.

14. Ketidakmampuan para filsuf untuk membuktikan bahwa langit adalah makhluk hidup (hayawan), dan mematuhi Tuhan melalui geraknya.

Langit adalah makhluk hidup dan mempunyai suatu jiwa yang berhubungan dengan tubuh langit sebagaimana jiwa kita berhubungan dengan tubuh kita. Ini dibuktikan dengan adanya gerak langit. Gerak langit bukanlah gerakan alami[7] (at-tabi’iyyah), bukan pula gerakan terpaksa (digerakkan oleh “yang lain”) akan tetapi gerakan volisional (irady wa nafsany)[8].

Mengenai ungkapan ini, al-Ghazali menyatakan bahwa langit bukanlah makhluk hidup, karena Gerakan langit adalah gerakan “paksaan”[9] dan kehendak tuhan sebagai prinsipnya.

15. Sanggahan terhadap yang filsuf sebut tujuan yang menggerakkan langit.

Gerakan langit menurut para filsuf bertujuan untuk taqarrub (mendekatkan diri) pada Allah. Pengertian yang dimaksud adalah mendekatkan diri dalam hal sifat-sifat bukan dalam hal ruang, sebagaimana kedekatan malaikat pada-Nya, karena ada-Nya sebagai wujud yang sempurna berbeda dengan bertentangan dengan segala sesuatu yang tidak sempurna. Dan malaikat-malaikat yang dekat (al-muqarrabun) adalah sesuatu yang mendekati kesempurnaan-Nya. Kesempurnaan langit didapat melalui penyerupaan (tasyabbuh) dengan Prinsip Pertama melalui ; penempatan yang sempurna dalam semua posisi yang mungkin baginya.

Sanggahan yang diberikan oleh al-Ghazali seperti yang diungkapkannya pada persoalan sebelumnya (14). Ia menambahkan, bahwa gerakan langit tidak menunjukkan bahwa mereka (langit) bertujuan untuk mendekati kesempurnaan dalam artian kesempurnaan Tuhan, karena tidak ada bedanya antara posisi mereka di suatu tempat dan ditempat yang lain yang menunjukkan kesempurnaan. Semuanya hanya perpindahan posisi saja.

16. Kelemahan teori para filsuf bahwa jiwa-jiwa langit mengetahui semua partikularia-partikularia yang bermula (al-juziyyat al-haditsah) didalam alam ini.

Persoalan ini bermula ketika para filsuf mengatakan bahwa malaikat langit adalah jiwa-jiwa langit, yang menjadi perantara Tuhan dalam mengisi al-lawh al mahfudl. Sanggahan yang diungkapkan oleh al-Ghazali kemudian adalah bagaimana mungkin sebuah makhluk dapat mempunyai pengetahuan tentang partikularia-partikularia (juz’iyyat) yang tak terbatas.

Ditambahkan oleh al-Ghazali hal yang paling kacau adalah pernyataan para filsuf bahwa apabila falak mempunyai gerakan-gerakan partikular, maka ia juga mempunyai representasi subordinat-subordinat dan konsekuensi-konsekuensi dari gerakan partikular itu.

Seperti seorang manusia yang bergerak mesti mengetahui gerakan-gerakannya dan konsekuensi atas gerakannya dalam hubungannya dengan tubuh-tubuh yang lain atau makhluk-makhluk yang lain dan itu tidak mungkin.

17. Sanggahan terhadap para Filsuf akan kemustahilan Perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa.

Menurut al-Ghazali, hubungan yang dipeercaya sebagai sebab dan akibat adalah tidak wajib. Semua hubungan sebab dan akibat terjadi karena memang Tuhan telah menciptakannya demikian adanya. Seperti, Dia kuasa menciptakan kekenyangan tanpa makan, seperti contoh ketika Ibrahim tidak terbakar api. Hal itu tidak mungkin terjadi kecuali meniadakan panas dari api atau Tuhan telah menciptakan suatu sifat tertentu yang dapat mencegah timbulnya sebuah akibat dari suatu sebab.

18. Tentang ketidakmampuan para Filsuf untuk memberikan demonstrasi rasional tentang teori mereka bahwa jiwa manusia adalah Substansi spiritual yang ada dengan sendirinya; tidak menempati ruang; bukan tubuh; dan tidak terpateri dalam tubuh; dan ia pun tidak berhubungan dengan tubuh dan tidak pula terpisahkan darinya sebagaimana tuhan tidak di luar alam dan tidak didalam alam dan demikianlah malaikat-malaikat.

Yang menjadi dasar para filsuf dalam hal ini adalah ketidakmungkinan pengetahuan yang ‘satu’ yang rasional terpateri dalam tubuh, karena jika hal itu maka substratum fisik harus juga membagi pengetahuan itu. Begitu juga jiwa sebagai sesuatu yang tunggal tidak dapat menempati tubuh yang merupakan sesuatu yang dapat dibagi-bagi.

Pendapat para filsuf tentang pengetahuan seperti tampak pada silogisme berikut :

a. Apabila substratum pengetahuan adalah suatu tubuh yang dapat dibagi-bagi, maka pengetahuan didalamnya akan terbagi-bagi.

b. Tetapi pengetahuan yang ada didalamnya tidak dapat terbagi-bagi

c. Karenanya substratum itu adalah bukan tubuh.

Menurut al-Ghazali yang menjadi kesalahan para filsuf adalah pemahaman mereka tentang pengetahuan yang akan terbagi oleh pembagian substratumnya. Seperti contoh persepsi indrawi (pengetahuan inderawi) sebagai tampilan atas apa yang dipersepsi dalam jiwa orang yang melakukan persepsi dimana jiwa tetap membutuhkan organ-organ badan sebagai penginderanya.

19. Kelemahan tesis para filsuf bahwa setelah terwujud jiwa manusia tidak dapat hancur; dan bahwa watak keabadiannya mambuatnya mustahil bagi kita untuk membayangkan kehancurannya.

Al-Ghazzali memberikan sanggahan mengenai hal ini dalam dua segi ;

Pertama, dalam persoalan yang ke 18 telah disebutkan oleh para filsuf bahwa jiwa tidak terdapat dalam tubuh, hal ini telah terbantahkan.

Kedua, meskipun mereka tidaka menganggap bahwa jiwa ada dalam tubuh akan tetapi terbukti ada suatu hubungan antara jiwa dengan tubuh, sehingga suatu jiwa bergantung pada wujudnya tubuh. Hubungan antara jiwa dan tubuh suatu syarat bagi eksistensi jiwa.

20. Sanggahan terhadap penolakan para Filsuf akan kebangkitan tubuh-tubuh.

Menurut al-Ghazzali, agama telah mengajarkan kita untuk mempercayai kebangkitan kembali (ba’ts wa nusyur) yang akan dibarengi dengan kemunculan kembali kehidupan dan dengan kebangkitan dimaksudkan kembali kebangkitan tubuh-tubuh, dan ini mungkin dengan mengembalikan jiwa kedalam tubuh, karena jiwalah yang membentuk diri kita ini meskipun tubuh selalu mengalami perubahan.



4. Tiga Golongan Kaum Filosof Menurut Al-Ghazzali

Selanjutnya, penting saya kemukan disini bahwa Al-Ghazzali dalam bukunya Al-Munqiz min ad-Dhalal, ia mengelompokan folosof dalam tiga golongan;[10]

Filosof Materialis (Dahriyyun)

Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya TUhan, sementara itu Kosmos ada dengan sendirinya.

Filosof Naturalis (Thobi’iyyun)

Mereka adalah para filosof yang melaksanan berbagai penelitian alam. Melalui penyelidikan tersebut, mereka menyaksikan keajaiban-keajaiban alam. Sehingga memaksa meraka untuk mengakui adanya sang Pencipta di ala mini.kendati demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari Kebangkitan. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa, sebab meraka hanya mengikuti naluri-nafsu hewani belaka.

Filosof Ketuhanan (Ilahiyun)

Mereka adalah filosof Yunani, seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah filosof sebelumnya (materialisme-Atomisme, dan Naturalisme), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sisa-sisa kekafiran berpikir dank ke-heredoksian (bid’ah agama). Oleh karena itu, ia sendiri menurut Al-Ghazali termasuk kafir, begitu juga Al-Farabi dan Ibnu Sina yang mengikuti dan menyebarkan pikiran Aristoteles ke dunia Islam.



DAFTAR PUSTAKA

ü http://ihsanmaulana.wordpress.com/2007/11/28/reviuw-tahafut-al-falasifah/

“Review Tahafut aL-Falasifah”, oleh:Ihsan Maulana dan Arif Hidayat

waktu mengunduh: Senin, 26 Mei 2008 pkl 11.20

ü Munir Mulkhan, Abdul. 1991. Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan : Sebuah Esai Pemikiran Imam Al-Ghazali. Jakarta : Bumi Aksar

ü Zar, Sirajuddin. 2004, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

[1] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal; 155

[2] Ibid, hal; 158
[3] Ibid, hal; 156
[4] Ibid, hal; 158
[5] Ke-enam karya Al-Ghazzali tersebut diatas merujuk pada Sirajuddin, Ibid, hal : 159
[6] Seluruh dua puluh point sangahan Al-Ghazali terhadap para filosof yang tertuang dalam bukunya “At-Tahafut Falasifah” diambil dari; http://ihsanmaulana.wordpress.com/2007/11/28/reviuw-tahafut-al-falasifah/ waktu mengunduh: Senin, 26 Mei 2008 pkl 11.20 Review Tahafut aL-Falasifah, oleh:Ihsan Maulana dan Arif Hidayat
[7] Gerakan alami adalah gerakan perpindahan tempat, apabila sesuatu itu telah menempati suatu ruang yang cocok baginya, maka dia tidak akan bergerak lagi
[8] Gerakan yang disadari dan dikehendaki.
[9] Gerakan yang dilakukan yang didasarkan pada adanya “paksaan” dari luar benda itu
[10] Sirajuddin Zar, Op. Cit, hal; 160

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal-Usul Desa Ngrayun

Proposal Pelatihan Kader Dasar PK.PMII Sunan Giri Ponorogo 2011

Neptu dino lan pasaran