FEMINIS MUSLIM INDONESIA (Aliran Pemikiran Antara 1990-2000) Ala'i Nadjib

FEMINIS MUSLIM INDONESIA
(Aliran Pemikiran Antara 1990-2000)
Ala'i Nadjib
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Abstrak
Artikel ini membahas tentang perkembangan feminisme di Indonesia selama satu decade (1990-2000). Wacana dan gerakan feminisme merupakan fenomena baru di Indonesia. Yang berkembang sebelumnya adalah emansipasi wanita, sebagai buah dari perjuangan perempuan semenjak Kartini. Feminisme baru muncul secara signifikan selama sepuluh tahun terakhir. Meskipun begitu, feminisme telah melahirkan organisasi-organisasi peremnpuan di Indonesia seperti Rahima, kalyanamitra dan rifka Annisa. Masuknya feminisme ke Indonesia dipengaruhi oleh adanya kontak langsung antara aktivis perempuan di Indonesia dengan aktivis perempuan dari Negara-negara lain di dunia, dan juga literature feminis dari luar.Sebagai sebuah fenomena baru, kehadirannya di Indonesia diresponse dengan beragam baik dalam bentuk watak maupun aliran. Gerakan Feminisme telah melahirkan aliran dan para pemikir tentang isu perempuan dan aktivis perempuan. Dari sini muncullah para feminis beraliran konservatif seperti Zakiyah Darajat dan Ratna Megawangi, dan feminis modern seperti Wardah Hafidz, Masdar Farid Mas’udi, Husein Muhammad dan Nazarudin Umar. Selain para pemikir, telah lahir pula para aktivis perempuan di Indonesia seperti Lies Marcoes Natsir dan Farha Ciciek.
Kata kunci: feminisme, feminis, emansipasi, aliran konservatif, aliran modern, aktivis perempuan


A. Pendahuluan
Perkembangan pendidikan kaum perempuan di Indonesia, dari era kolonial sampaiera kemerdekaan, dari rezim satu ke rezim yang lain, telah melahirkan be berapa perempuan terpelajar. Meskipun berbeda-beda peranan, mereka telah memainkan peranan yang penting dalam perjuangan kaum perempuan. Peran perempuan muslim dapat dilihat dari pembentukan sejumlah organisasi perempuan Islam seperti ‘Aisyiah (1917), Persis (1936)Muslimat NU (1946), dan yang lain. Organisasi-organisasi tersebut adalah organisasi Perempuan yang berafiliasi kepada organisasi Islam; Aisyiah organisasi perempuan Muhammadiyah, Persistri organisasi perempuan Persis dan Muslimat NU organisasi perempuan Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi-organisasi kaum perempuan ini mempunyai kecenderungan untuk mengikuti cara fakir organisasi Islam induknya. Setelah Indonesia merdeka, sejumlah gerakan kaum perempuan Islam meningkat tajam: sebagai contoh, pada tahun 1967, kaum perempuan Islam mendirikan BMOPII (Badan Musyawarah Organisasi Perempuan Islam Indonesia), yang pada tahun 1969 berubah menjadi BMOWI (Badan Musyawarah Organisasi Wanita Islam Indonesia). Organisasi ini berfungsi untuk memantapkan peranan gerakan perempuan, khususnya yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan dan agama.
Pada tahun 1974, organisasi-organisasi perempuan dalam lembagapemerintahan digantikan oleh organisasi-organisasi yang disponsori oleh pemerintah. Pada tahun yang sama, didirikan juga Dharma Wanita yang beranggotakan isteri-isteri pegawai negeri sipil . Masih pada tahun yang sama, pemerintah juga mulai memberikan bantuan finansial kepada KOWANI, - organisasi ini berdiri senjak tahun 1946 – sebuah organisasi yang memayungi seluruh organisasi perempuan. Akibat bantuan finansial dari pemerintah ini telah upaya yang dilakukan pemerintah ini, Sullivan menyatakan bahwa organisasi-organisasi inimendukung ideologi Orde Baru yang patriakhal yang memposisikan perempuan sebagai masyarakat kelas dua.
Pada tahun 1978, untuk pertama kalinya pemerintah membahas tentang peraturan khusus mengenai peran perempuan untuk membantu kebijakan Negara. Peraturan tersebutmenunjukkan kehendak politik dan pengakuan pemerintah dan masyarakat bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak, kesempatan dan tanggung jawab yang sama dalam seluruh aspek kehidupan dan pembangunan bangsa. Tetapi dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara/GBHN juga terdapat ambiguitas antara paragraf pertama dan kedua. Paragraf tersebut adalah :
1. Pembangunan secara keseluruhan memerlukan partisipasi laki-laki dan peremuan secara maksimum pada semua bidang. Dengan demikian,perempuan mempunyai hak tanggung jawab dan kesempatan yang sama seperti laki-laki untuk berpartisipasi secara penuh dalam semua aktivitas pembangunan.
2. Tugas perempuan dalam pembangunan tidak mengganggu tugas merekadalam mencapai keluarga bahagia secara umum, dan mengarahkan generasi baru secara khusus, dalam pembangunan
masyarakat Indonesia pada semua aspek kehidupan.
Untuk mendukung keputusan pemerintah, pada tahun yang sama diangkat menteri muda urusan wanita. Terpilihlah L.Soetanto sebagai Menteri Muda Urusan Wanita pada Kabinet Pembangunan III (1978-1983). Pembentukan kementrian wanita ini disambut dengan gembira oleh organisasi-organisasi perempuan termasuk organisasi perempuan Islam. Namun demikian, beberapa aktivis perempuan, khususnya para aktivis LSM menolak kementrian ini. Mereka menyatakan bahwa sesungguhnya kementerian wanita tidak bertujuan untuk memberdayakan perempuan, tetapi hanya untuk menegaskan bagaimana kaum perempuan seharusnya memposisikan diri mereka untuk mendukung suami-suami mereka. Dengan demikian, kaum perempuan tetap menempati posisi kedua. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia; untuk informasi portfolio tentang urusan wanita, kita bisa merujuk pada hasil laporan PBB tahun 1991 yang hanya menunjukkan sangat sedikit kaum perempuan yang dipilih untuk menempati posisi yang merefleksikan peranan yang sering dilakukan perempuan hanya dalam ruang privat, seperti perempuan sering diberi tanggungjawab untuk masalah kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan urusan-urusan perempuan.
Revitalisasi umat Islam dan isu-isu perempuan dimulai pada tahun 1990-an; pembaruan Islam sebagaimana disebutkan di atas sejalan dengan revitalisasi. Sebagai contoh, pada tahun 1991 INIS (the Indonesia Netherlands Cooperation in Islamic Studies) mengadakan seminar nasional dengan tema “The Indonesian Muslim Woman studied from a Textual and Contextual Point of View”. Seminar ini mencoba untuk memulai pembahasan yang lebih luas tentang Islam dan isu-isu perempuan di Indonesia. Tujuannya adalah untuk mendapatkan konfigurasi perempuan muslim di Indonesia dan untuk melibatkan sejumlah perwakilan perempuan dari seluruh IAIN, lembaga-lembaga perempuan Islam, sarjanasarjana Indonesia, para peneliti, pelajar dan lainnya.
Selama periode ini, telah didirikan sejumlah organisasi perempuan Islam dan terjadi peristiwa-peristiwa penting lain. Pada tahun 1990, di Yogyakarta, didirikan beberapa yayasan seperti Rifka Anisa sebagai pusat pengaduan perempuan (WCC/Woman Crisis Center) dan juga LSPPA (Lembaga Studi Pemberdayaan Perempuan dan Anak). Pada tahun 1994, Muslimat NU Jakarta membentuk Kelompok Kajian Perempuan dan Islam dan menerbitkan sebuah buku mengenai emansipasi wanita. Pada tahun yang sama, Perhimpunan PengembanganPesantren dan Masyarakat (P3M) meluncurkan program Fiqh al-Nisa. Program ini bertujuan untuk memperkuat hak-hak kaum perempuan dan status mereka dalam Islam. Kegiatan ini dijalankan melalui halaqah (pelatihan) dengan didukung penerbitan brosur, poster dan buku.

B. Feminisme di Indonesia
1. Pengertian Feminisme
Feminisme merupakan istilah baru di Indonesia. Kaum perempuan Indonesia lebih
familiar dengan istilah emansipasi untuk menyebut gerakan perempuan. Emansipasi diilhami oleh perjuangan Kartini pada akhir abad ke 19. Karena menyoal konsep Indonesia yang mendasar, feminisme dapat menimbulkan kebingungan dan menjadi kata yang menakutkan. Ini karena konsep mengenai feminisme masih diasumsikan sebagai nilai Barat sehingga tidak
sesuai dengan konteks Indonesia
Sekarang, konsep feminisme tetap problematik bagi sebagian perempuan Indonesia, khususnya mereka yang tidak faham dengan isu-isu perempuan atau yang tidak akrab dengan perkembangan feminisme di Barat. Seorang Feminis Indonesia, Wardah Hafidz,mengkritik orang-orang yang menyalah artikan kata feminis, atau terkadang menggeneralisasi dan mengasosiasikan kata feminine dan feminisme sebagai konsep yang sama karena adanya kemiripan dalam pengucapan
Sebagaimana disebutkan di atas, perjuangan kaum perempuan lebih dikenal sebagai emansipasi perempuan. Istilah ini diterapkan pada perjuangan Kartini pada akhir abad ke sembilan belas di Jepara, Jawa Tengah. Kartini dikenal sebagai pahlawan Indonesia yang berjuang untuk isu-isu perempuan khususnya di bidang pendidikan dan emansipasi. Selanjutnya, kata emansipasi digunakan secara luas sebelum penggunaan kata feminism menjadi umum digunakan, karena emansipasi hanya mempunyai tujuan terbatas dan mempunyai persamaan terhadap sebagian nilai yang ada pada feminisme. Kartini mendirikan sekolah untuk kaum perempuan di mana dia dan saudara-saudara perempuannya mengajar. Dia mendidik mereka untuk berfikir bagaimana perempuan dapat mengatur dirinya agar tidak terlalu tergantung pada laki-laki dalam sistem masyarakat sangat patriakhal. Kartini menempatkan persoalan-persoalan perempuan dalam konteksnya seperti tantangan nyata penindasan terhadap perempuan dianggap sebagai bagian dari sistem budaya. Inlah alasan mengapa Kartini memilih pendidikan sebagai strategi utama untuk memecahkan persoalan dan tujuannya adalah untuk membangkitkan kesadaran perempuan. Perlu dicatat di sini bahwa setelah Kartini, gerakan perempuan menjadi cukup yakin mengenai peran mereka baik secara individual maupun kolektif. Sejarah Indonesia mencatat Dewi Sartika mendirikan sekolah untuk kaum perempuan di Jawa Barat. Terdapat juga perempuan di Aceh dan Sumatra yang berjuang untuk gerakan perempuan. Sementara itu, beberapa organisasi seperti Muslimat NU, Aisyiyah, PWKI (Persatuan Wanita Kristen Indonesia), WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia) dan lainnya telah memainkan peranan yang penting semenjak didirikan sampai sekarang. Dalam perkembangan ini, beberapa tokoh seperti Lies Marcoes, Saparinah Sadli, Masdar Mas’udi, Nursyahbany Katjasungkana dan lain-lain tetap memberi perhatian terhadap isu-isu perempuan, berjuang melalui berbagai bidang seperti advokasi dan pelatihan atau dengan menerbitkan jurnal dan menulis buku untuk merevitalisasi kesadaran perempuan. Dari pembahasan ini, kita dapat menentukan bahwa kaum feminis dalam konteks Indonesia adalah mereka, baik laki-laki maupun perempuan yang berjuang untuk hak-hak perempuan.
Kita dapat mengidentifikasi dua fase: masa lalu, dari 1928 sampai 1979, dan masa kini dari tahun 1980 sampai sekarang. Perempuan Indonesian telah memainkan peranan penting pada masa lalu dan masa kini. Pada masa lalu, konggres perempuan tahun 1928 dapat dilihat sebagai titik kulminasi yang sangat penting bagi perjuangan perempuan. Dalam upacara pembukaan, Soekarno kelompok bangsa berjuang melawan kolonialisme. Soekarno menegaskan bahwa ketika Indonesia merdeka, emansipasi harus segera mungkin diwujudkan. Karena peran serta perempuan sama dengan laki-laki, kaum perempuan juga memberikan kontribusi terhadap setiap bagian dari konstitusi Indonesia. Sebagai hasil, konstitusi Indonesia diwarnai dengan semangat persamaan. Tetapi semangat ini tidak terwujudkan dalam penerapan. Penindasan terhadap perempuan berlanjut, hususnya dalam lembaga-lembaga perkawinan dan keluarga. Sebagai contoh, poligami yang dilakukan oleh Soekarno menjadi kasus yang penting. Banyak kaum perempuan menyatakan menentang tindakan tersebut dan mendesak untuk membuat undang-undang perkawinan. Akhirnya, setelah berjuang semenjak tahun 1928 membuat, perjuangan perempuan berhasil ketika pemerintah undang-undang perkawinan pada tahun 1974. Meskipun undang-undang tersebut belum sempurna sebagai undang-undang perkawinan, perlindungan terhadap hak perempuan dan kesejahteraan keluarga lebih baik dibanding sebelumnya. Di bawah UUD 1945 dan peraturan lainnya, laki-laki dan perempuan setara. Tetapi ini hanya de jure, secara de

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal-Usul Desa Ngrayun

Neptu dino lan pasaran

Proposal Pelatihan Kader Dasar PK.PMII Sunan Giri Ponorogo 2011