ANALISA AHMADIYAH - SALAMULLAH

Assalamu'alaykum Wr. Wb.


Sebagaimana yang kita ketahui bersama, pemimpin utama Jemaah Ahmadiyah yang bernama Mirza Ghulam Ahmad dari negeri India dan Jemaah Lia Eden (dahulu bernama Jemaah Salamullah) yang dipimpin oleh Lia Aminuddin dari Indonesia, masing-masing telah mengaku mendapatkan wahyu dari Allah Azza Wajalla dan telah pula mengaku diangkat menjadi Imam Mahdi sebagaimana yang konon diriwayatkan oleh beberapa sabda Nabi Muhammad Saw dalam beberapa Hadist yang otoritas ke-Shahihannya serta penafsirannya sendiri sebenarnya masih mengandung perdebatan antar para umat Islam.

Di dalam salah satu riwayat yang diatasnamakan kepada Ibnu Abbas, Rasulullah saw. dikabarkan pernah bersabda:

"Tidak akan hancur umat [Islam] yang aku berada di muka, Isa di akhir dan Mahdi di tengahnya" (Sunan Nasai; Faidhul Qadir, jld.5,h.301; Nuzul Isa Ibni Maryam Akhir Az Zaman, Imam Jalaluddin Abdur Rahman As-Suyuthi, terj. Bhs.Indonesia: Turunnya Isa Bin Maryam Pada Akhir Zaman, A.K.Hamdi, CV Haji Masagung,Jakarta,1989, h.89)

Dalam satu Hadist lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dikatakan pula Rasulullah Saw pernah bersabda :

"Tidak ada Mahdi selain Isa" (Riwayat Ibnu Majah).

Mengenai bakal turunnya Imam Mahdi, kepercayaan di kalangan pencinta ahli Bait yang lebih dikenal sebagai kaum Syî‘ah lebih kuat dan merata daripada di kalangan umat Islam dari berbagai aliran selain mereka.

Dan menurut para ahli, salah seorang diantaranya seorang sarjana Syî‘ah dari Amerika, AbdulAziz Sachedina, Mesianisme Islam memang mewujud nyata dalam paham tentang bakal turunnya Imam Mahdi atau, singkatannya, dalam "Mahdisme".

Sebutan seseorang sebagai al-mahdî (orang yang mendapat hidayah Ilahi) agaknya mula-mula muncul sebagai sebutan kehormatan, khususnya untuk para anggota Ahli Bait (Keluarga Nabi) dari garis keturunan ‘Alî bin Abu Thâlib dan Fâthimah r.a. Ada indikasi bahwa kedua putera ‘Alî dan Fâthimah, yaitu Hasan dan Husein (al-Hasan dan al-Husayn) sejak dari semula sudah digelari sebagai al-Mahdî.


Ini cukup logis, mengingat kedua cucu Nabi Saw itu dihormati sebagai tokoh-tokoh yang telah menempuh hidup di bawah bimbingan Allah sebagaimana orang tua dan kakeknya. Di kalangan kaum Syî‘ah, Mahdisme merupakan salah satu pandangan keagamaan yang sangat kuat, jauh lebih kuat daripada yang ada dikelompok umat Islam lainnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa paham Mahdi hampir-hampir identik dengan Syî‘ah, baik kalangan Syî‘ah Istnâ ‘Asy`arîyah (juga disebut Syî‘ah Ja‘farîyah atau Mûsawîyah) maupun kalangan Syî‘ah Sab‘îyah (lebih umum dikenal dengan sebutan Syî‘ah Ismâ‘îlîyah).

Namun ada yang melacak bahwa paham tentang Imam Mahdi itu asal mulanya timbul di kalangan kaum Kaysânîyah, yaitu para pengikut Muhammad ibn al-Hanafîyah, seorang keturunan ‘Alî dari isterinya yang berasal dari wanita suku Banî Hanîfah. (Maka cukup menarik untuk diperhatikan bahwa tokoh putera ‘Alî ibn Abî Thâlib yang bernama Muhammad ini tidak disebut "ibn ‘Alî", melainkan "ibn al-Hanafîyah" yang merujuk kepada ibunya; dengan begitu ia ditegaskan sebagai bukan keturunan Nabi Saw., karena keturunan beliau hanya ada dari kerturunan puteri beliau, Fâthimah).


Setelah Muhammad ibn al-Hanafîyah meninggal, para pengikutnya percaya bahwa ia menghilang dalam persembunyian di Gunung Rawdlah di Arabia barat-laut, kawasan antara Yanbû‘ dan Madînah. Mereka percaya bahwa tokoh itu kelak akan muncul kembali untuk menegakkan keadilan di bumi, sebagai Imam Mahdi. Saat sekarang ini, dalam kepercayaan para pengikutnya, Muhammad ibn al-Hanafîyah adalah seorang Imam yang masih dalam persembunyian (al-Imâm al-Ghâ’ib), sekaligus Imam yang dinantikan (al-Imâm al-Muntazhar).


Sementara itu, Mirza Ghulam Ahmad, kelahiran Qadian-India 13 Februari 1835, mengaku menerima suara dari langit pada bulan Maret 1882 yang menyatakan diangkatnya Mirza Ghulam sebagai "Ma'mur Minallah" atau "Utusan Allah" dan mengklaimkan diri pula sebagai seorang Mujaddid (pembaharu agama), yang dilanjutkan pada awal tahun 1891 Mirza Ghulam Ahmad mendakwakan bahwa dirinya telah diangkat oleh Allah Swt sebagai Imam Mahdi dan Masih Mau'ud atau Isa yang dijanjikan.
(Sumber : http://thewww.com/ahmadina/sejarah.htm yang saat ini sudah blank)


Selain itu juga ia mengaku dirinya sebagai seorang Juru Selamat dari umat Budha (Reinkarnasi Budha), umat Hindu (Kalky Authar), umat Kong Hu Chu, umat Zoroaster dan tentu saja umat Kristen berdasarkan klaim datangnya Jesus untuk mendekatkan kerajaan langit dan bumi.
(Amanat Hz.Khalifatul Masih IV Pd Tasyakur Seabad Jemaat Ahmadiyah,23 Maret 1889-1989, Souvenir Peringatan Seabad Gerhana-bulan dan Gerhana-matahari Ramadhan 1894-1994,Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1994,h.7)
Referensi diambil dari: http://thewww.com/ahmadina/akidah.htm yang sudah blank.

Dengan menetapkan Masih Mau'ud dan Mahdi itu satu orangnya, kedatangan Almasih tersebut dianggap sebagai kedatangan Rasulullah saw. untuk kedua kalinya. Dan orang-orang yang menerima kedatangan Masih Mau'ud tsb. dinyatakan sebagai para sahabat Rasulullah saw. juga, namun yang belum pernah bergabung/berjumpa dengan para sahabah yang hidup dimasa Rasulullah saw. (Al-Jum'ah:3-4). Dengan itu di kalangan umat Islam pecinta Rasulullah saw. diharapkan akan timbul kedambaan yang meluap-luap terhadap al-Masih yang dijanjikan tsb.


Pada akhir tahun 1890, yaitu beberapa waktu sebelum Mirza Ghulam Ahmad memproklamirkan dirinya sebagai Imam Mahdi dan Almasih, ia mengatakan telah memperoleh ilham dari Allah bahwasanya Nabi Isa Putra Maryam telah wafat:


"Masih ibnu Maryam rasul Allah faot hocuka he aor uske rangg me ho kar wa'dah ke muwafiq tu aya he -- Masih Ibnu Maryam rasul Allah telah wafat, dan dalam warnanya engkau telah datang sesuai dengan [yang] dijanjikan" (Izalah Auham h.561-562; Tadzkirah, edisi ke-3, Al-Syirkatul Islamiah, Rabwah, 1969,h.183)

Jadi menurut Mirza Ghulam Ahmad, seseorang yang telah wafat tidak akan hidup kembali dan datang ke dunia ini. Oleh karena itu, orang yang dijanjikan kedatangannya tsb. tentu pribadi lain yang memiliki kesamaan dengan Almasih yang tidak lain adalah dirinya sendiri.


Pada tahun 1898 diperoleh informasi bahwasanya kuburan Nabi Isa as. terdapat di Srinagar, Kashmir. Selanjutnya Mirza Ghulam Ahmad mengirimkan ekspedisi untuk menelusuri bukti-bukti perjalanan hijrahnya Nabi Isa dari Palestina ke Kashmir sampai beliau wafat disana.


Dan pada tahun 1899 Mirza Ghulam Ahmad menulis buku Almasih Hindustan Me (Almasih Di India), yang diklaim memuat bukti-bukti sejarah serta kesaksian-kesaksian sosial budaya kawasan yang diperkirakan pernah dilalui oleh Nabi Isa dalam perjalanan beliau mencari domba-domba Bani Israili yang hilang, di kawasan Iran, Afghanistan, hingga ke Kashmir, India.


Berbeda dengan pengklaiman Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) yang mengaku sebagai Imam Mahdi sekaligus juga Isa Almasih, Lia Aminuddin dari Indonesia mengaku telah disapa oleh seorang Malaikat bernama "Habib Al-Huda" pada tanggal 27 Oktober 1995 yang akhirnya pada tanggal 28 Juli 1997 makhluk tersebut mengaku bahwa dia sesungguhnya adalah Malaikat Jibril utusan Allah yang membawa misi mengabarkan kebangkitan Imam Mahdi dan Isa Almasih pada akhir jaman. (Sumber: Buku Perkenankan Aku Menjawab Sebuah Takdir karangan Lia Aminuddin yang bisa anda secara lengkap -tanpa editing- dari Web Site saya http://www.geocities.com/armansyah_skom/lia.html)


Adapun Imam Mahdi yang dimaksud adalah tidak lain Lia Aminuddin sendiri yang lahir dikota Ujungpandang pada tanggal 21 Agustus 1947, sementara sang Nabi Isa Almasih adalah Ahmad Mukti, kelahiran 1 Juni 1972, putra ketiga dari empat bersaudara buah perkawinannya dengan Ir. Aminuddin Day, MSc, seorang dosen Fakultas Teknik Universitas Indonesia.


Meniliki sosok Ahmad Mukti, tidak ada yang istimewa dalam kehidupan masa lalunya. Pendidikan sekolah SD-SMA diselesaikannya di Jakarta. Bahkan ia pernah di DO (drop out) dari STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) karena memiliki nilai yang kurang memadai. Dan terpaksa melanjutkan studi S-1 di Jurusan Akuntansi Universitas Trisakti, Jakarta.


Ahmad Mukti sebelumnya diketahui tidak terlampau akrab dengan Jemaah Salamullah yang dipimpin oleh ibunya. Dia juga tidak pernah kelihatan menjadi Imam Sholat fardu berjamaah ataupun Sholat amanatuhu - Sholat sunah versi mereka.


Kebangkitan Nabi Isa menurut Lia Aminuddin diketengahkan melalui sebuah kelahiran dan Ahmad Mukti itu menerima ruh Nabi Isa sejak awal ketika dia masih berupa janin di dalam kandungan. Sejak kelahiran sampai dia dewasa, keadaannya disimpan, tidak diberitahukan demi perlindungan kepadanya. Persembunyian ini ditujukan untuk menghindarkan dirinya dari pembinasaan oleh dajjal. Sebagai Nabi Isa yang kelak akan membunuh dajjal tentulah oleh dajjal hal itu ingin digagalkan. Maka, keadaan Nabi Isa ini diungkapkan setelah dia berumur 26 tahun, pada saat pembaiatannya.

Kedatangan dajjal diberitahukan bersamaan dengan kebangkitan Nabi Isa. Maka kedatangan dajjal itu tak dapat dihindarkan oleh Nabi Isa. Sedangkan dia ingin dikemukakan sebagai manusia biasa oleh Allah demi untuk menghentikan pengkultusannya.


Umat Kristen telah mempersekutukan Nabi Isa dengan Allah. Maka pada kebangkitan Nabi Isa yang kedua kalinya ini, dia dikemukakan sebagai orang yang belum menerima perisai-perisainya Nabi Isa. Ahmad Mukti hanya disebutkan sebagai penjelmaan Nabi Isa. Maka untuk membela dia dari serangan Dajjal dan orang-orang yang tak menginginkannya, maka Allah menunjuk ibunya (Lia Aminuddin) selaku Imam Mahdi sebagai orang yang mengemukakan kebangkitannya dan sekaligus sebagai penjaganya.


Nabi Isa dan Imam Mahdi merupakan suatu kesatuan yang solid untuk menyampaikan perintah-perintah dan amanah Allah. Keduanya saling menjaga dan tugas mereka saling melengkapi. Misalkan Imam Mahdi dan Nabi Isa itu terpisah dan tak saling berkaitan, amanah-amanah Allah itu kembali menjadi pertentangan antara umat Kristen dan umat Islam, demikian menurut Lia Aminuddin.


Namun dengan pernyataan ini, secara tidak langsung, Lia Aminuddin telah membatalkan pengklaiman Jemaah Ahmadiyah mengenai ketunggalan Almasih dengan Imam Mahdi dalam pribadi Mirza Ghulam Ahmad. Maka untuk pembuktian bahwa Ahmad Mukti adalah Nabi Isa, maka ruh Siti Maryam dikabarkan telah mendampingi Lia Aminuddin melalui sosoknya pada diri beliau setiap saat bila diperlukan. Dengan cara inilah konon Allah memberikan sarana bagi Lia Aminuddin untuk membuktikan bahwa anaknya, Ahmad Mukti itu, adalah Nabi Isa.


Ketika berkunjung ke Masjid Nabawi-Madinah Al Munawarah, Sabtu 18 Oktober 1997, di depan makam Rasulullah Muhammad Saw tiba-tiba Lia Aminuddin mengalami in trance. Lalu ia mendengar suara di dalam kalbunya, semacam isyarat dari Rasul. Menurut Lia Aminuddin, ruh Nabi Muhammad menyapa dan menyatakan akan mengutarakan kesaksiannya bahwa Lia menerima ketentuan takdir Allah sehubungan dengan Kebangkitan Nabi Isa dalam sosok puteranya, Ahmad Mukti.


Menurut argumen Lia Aminuddin, Iblis tidak mungkin berada di sana dan menyaru sebagai Rasulullah.

Masih menurut pemikiran mereka, kegegabahan apa sehingga Iblis mampu mendekati makam Rasulullah dan menyatakan itu, sedangkan peristiwa itu dialami oleh dirinya di dalam masjid Nabawi yang menurutnya telah disucikan Allah, yang senantiasa dijaga oleh para malaikat sebagaimana Ka'bah dan Masjidil Haram. Seyogianyalah Allah tak akan membiarkan iblis mengganggu keabadian ajaran-Nya, yaitu ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Sallallahu alaihi wasallam.

Selanjutnya, baik Mirza Ghulam Ahmad maupun Lia Aminuddin, keduanya sama-sama mengklaimkan Qur'an surah Ash Shaff ayat 6 yang menyebutkan nama "Ahmad" yang dinubuatkan oleh Nabi Isa Almasih kepada kaumnya, Bani Israil adalah ditujukan bagi Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmad Mukti.

Apa isi dari surah ash-Shaff ayat 6 tersebut ?


"Wahai bani Israil ! Sesungguhnya aku ('Isa al-Masih), utusan Allah kepadamu, membenarkan Taurat yang sudah ada sebelumku, dan memberi kabar gembira tentang seorang Rasul sesudahku, bernama Ahmad !"
(Qs. Ash Shaff 61:6)

Lalu sekarang, seberapa jauh kebenaran yang terkandung dalam pengakuan masing-masing Jemaah ini ?

Dalam ilmu logika, tidak mungkin 2 buah pernyataan yang saling berbeda memiliki nilai benar yang sama, satu diantaranya pasti ada yang salah ataupun kedua-duanya salah semua namun mustahil keduanya benar.


Beranjak dari sini, dengan satu maksud yang baik disertai penelaahan secara logika yang disertai penjabaran dari catatan sejarah dan al-Qur'an, kita akan mencoba mengupas polemik paham Mahdi dan al-Masih ini, terlepas apakah kita percaya terhadapnya ataupun sejauh mana penafsiran kita tentang hakekat polemik ini.


Anda percaya maupun tidak, menurut hemat saya, selama anda beriman kepada Allah dalam konsep monotheisme murni, terlebih lagi mengikuti apa yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad Saw dalam hal peribadahan maupun sosial kemasyarakatan, terlepas dari perbuatan-perbuatan nista dan bid'ah, InsyaAllah syurga akan tetap menanti anda.

Hal yang hampir senada juga diungkapkan oleh Imam Abu Abdillah, Ja'far ash-Shadiq, salah seorang Imam besar Syi'ah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sufyan bin As-Samath :


"Agama Islam itu adalah seperti yang tampak pada diri manusia, yaitu mengakui bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan Sholat dan mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah haji serta berpuasa dibulan Ramadhan."

Lebih jauh juga diungkapkan oleh Imam Abu Ja'far, Muhammad al-Baqir, seorang ulama Syiah besar lainnya seperti tercantum dalam Shahih Hamran bin A'yan :


"Agama Islam dinilai dari segala yang tampak dari perbuatan dan ucapan. Yaitu yang dianut oleh segala kelompok-kelompok kaum Muslim dari semua firqah (aliran). Atas dasar itu terjamin nyawa mereka, dan atas dasar itu berlangsung pengalihan harta warisan. Dengan itu pula dilangsungkan hubungan pernikahan. Demikian pula pelaksanaan Sholat, zakat, puasa dan haji. Dengan semua itu mereka keluar dari kekufuran dan dimasukkan kedalam ke-Imanan."


At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah Hadits Qudsi yang berasal dari Anas r.a, :
"Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, bahwa Allah berfirman : 'Wahai anak Adam !, Selama engkau berdo'a dan mengharapkan (ampunan)-Ku, maka Aku pasti mengampuni apa saja yang telah engkau lakukan dan Aku tidak perduli. Wahai anak Adam ! Seandainya dosa-dosamu itu mencapai ketinggian langit, kemudian engkau meminta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku berikan ampunan kepadamu. Wahai anak Adam ! Seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa-dosa sepenuh bumi, kemudian engkau menghadap Aku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, maka Aku pasti akan memberikan ampunan kepadamu sebanyak itu pula."

Dalam buku A. Syarafuddin al-Musawi yang berjudul "Isu-isu penting Ikhtilaf Sunnah-Syi'ah" yang sebelumnya juga pernah mengarang buku "Dialog Sunnah-Syi'ah" menyebutkan bahwa Syaikh Abu Tahir al-Qazwini dalam kitabnya "Siraj al-'Uqul" telah membantah hadist yang masyur yang menyebutkan : "Akan terpecah-pecah umatku menjadi 73 golongan, satu golongan diantaranya yang selamat dan sisanya masuk neraka." bukan teks yang sebenarnya, adapun menurut data-data Hadist yang ada pada beliau berdasarkan beberapa riwayat dan saluran teks Hadist tersebut sebenarnya berbunyi : "...Akan terpecah-pecah umatku menjadi 73 golongan, semuanya disyurga kecuali satu firqah." - dirawikan oleh Ibn an-Najr.


Apa yang dikemukakan oleh beberapa ulama Syi'ah diatas sangat bersesuaian sekali dengan penekanan al-Qur'an tentang ketinggian status seorang Muslim dan keagungan persaudaraan sesama mereka. Tidak menjadi kafir seseorang yang menolak otoritas kepemimpinan beberapa sahabat pada masa awal mangkatnya Nabi Muhammad Saw sebagaimana tidak pula menjadi kafir seseorang yang menerima dan mengakui otoritas mereka semuanya, semua itu berdasarkan ijtihad masing-masing orang yang berbeda, memang durjana, biadab dan amat sangat munafik yang tak bisa lagi diungkapkan dengan kata-kata luhur terhadap semua kekejaman Muawiyah dan dinastinya terhadap semua keturunan Nabi dari puterinya Fatimah, namun dari satu sisi mereka pernah bersyahadat terhadap Islam, biarlah Allah saja yang menjatuhkan azab dan siksa terhadap mereka, kita tidak punya urusan lagi dengan mereka kecuali kita hidup dijaman itu.


Dalam hal ini Nabi Muhammad Saw sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud pernah bersabda :


"Jika seorang Mujtahid (pencari keputusan dalam kerangka kebenaran) berusaha sendiri dan memberikan keputusan yang benar, maka dia mendapat dua pahala, namun jika penilaiannya itu keliru, dia masih akan mendapatkan satu pahala."

Adanya bentuk pengkafiran antara mereka yang mengaku dari firqah ahli Sunnah dan mereka yang berasal dari Syi'ah hanyalah disebabkan sifat kefanatismean masing-masing individu yang tidak ada hubungannya terhadap ajaran Islam sebenarnya, ulama-ulama besar Syi'ah dalam banyak bukunya tidak mengkafirkan mereka yang menolak untuk bergabung dengan pemahaman mereka, begitu juga sejumlah ulama-ulama ternama ahlu Sunnah, mereka tidak pula menjadikan para pencinta ahli Bait Rasul selaku manusia kafir yang wajib untuk diperangi.


Lalu sekarang bagaimana dengan pemahaman Jemaah Ahmadiyah maupun Salamullah yang menisbatkan diri para pemimpin mereka selaku orang-orang penerima wahyu kenabian dan ke-Mahdian ?


Mungkin akan mengundang perdebatan kontroversial, namun bagaimanapun diantara mereka ada yang tetap Muslim, setidaknya begitulah yang kita lihat dan kita dengar dari penuturan mereka sendiri, masing-masing jemaah ini tetap mengakui bahwa mereka bertauhid kepada Allah dan mengimani Nabi Muhammad Saw, berdasarkan kacamata al-Qur'an dan Hadist, maka mereka adalah orang Islam dan mereka semua saudara kita, hanya saja mereka sudah menyimpang, dan menjadi tanggung jawab kita semua untuk meluruskan penyimpangan tersebut dengan apa yang bisa kita lakukan.


Contoh teladan sudah dipraktekkan oleh orang yang dianggap sebagai pimpinan tertinggi jemaah Syi'ah, Imam 'Ali bin Abu Thalib r.a meskipun beliau sendiri tidak pernah menisbatkan dirinya selaku pemimpin sekte tertentu, tetapi sepanjang hidupnya beliau tidak pernah ingin melihat umat Islam terpecah-belah bahkan beliau senantiasa mendahulukan perundingan perdamaian didalam setiap pertempuran yang dilakukan para musuhnya, hal ini juga yang diwarisi oleh kedua putera beliau, cucu kesayangan Rasulullah yaitu Hasan dan Husin r.a,.


Berbeda dengan Mirza Ghulam Ahmad maupun Lia Aminuddin, Khalifah ke-4 Ali bin Abu Thalib r.a, tidak juga pernah berkata bahwa dirinya selaku orang penerima wahyu kenabian maupun pengangkatan dirinya selaku Mahdi sebagaimana yang dijumpai pada pengakuan pemimpin Ahmadiyah dan Salamullah.


Timbulnya permasalahan Mahdi yang terdapat dalam jemaah Syi'ah secara umum disebabkan karena adanya beberapa nash yang dinisbatkan sebagai ucapan Nabi Saw yang menyatakan tentang kehadiran seorang manusia disuatu masa yang disebut al-Mahdi yang berasal dari garis keturunannya melalui Fatimah r.a dan Ali bin Abu Thalib.


Beberapa diantaranya :
"Dari Huzaifah, berkata : 'Rasulullah Saw bersabda: "al-Mahdi itu adalah seorang laki-laki dari anakku, wajahnya seperti bintang bercahaya."
(Riwayat Rauyani dan Abu Nu'aim)


"Dari 'Ali bin Abu Thalib dari Nabi Saw bersabda : "Seandainya masa itu hanya tinggal sehari, pastilah Allah mengutus seorang laki-laki dari ahli Baitku yang akan memenuhi masa itu dengan keadilan sebagaimana ia dipenuhi oleh kecurangan."
(Riwayat Abu Daud)


"Dari 'Aisyah r.a, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: al-Mahdi itu adalah seorang laki-laki dari keturunanku, ia berperang atas dasar sunnahku, sebagaimana aku berperang atas dasar wahyu."
(Riwayat Nu'aim ibn Hammad)

Banyak lagi berita-berita yang sehubungan dengan kedatangan Imam Mahdi yang dinisbatkan terhadap ucapan Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh para Imam Syi'ah (ahli Bait Rasul).

Salah satunya yang juga terkenal adalah :

"Dari 'Auf Ibn Malik r.a, bahwasanya Nabi Saw bersabda : "Akan datang fitnah yang gelap gulita, yang di-ikuti oleh fitnah-fitnah yang satu terhadap yang lain, sehingga keluarlah seorang laki-laki dari ahli Baitku yang disebut al-Mahdi. Maka apabila kamu menjumpainya, ikutilah dia dan jadilah kamu tergolong orang yang mendapat petunjuk."
(Riwayat Tabrani).

Dari sejumlah kecil Hadist yang ada diatas, tampak jelas bahwa manakala al-Mahdi yang berasal dari garis keturunan Rasulullah (tentunya merefer pada benih Hasan atau Husain putera Fatimah dan 'Ali) sudah tiba, maka umat Islam haruslah membantunya dan mengikutinya (istilah lainnya: melakukan Ba'iat) sebagaimana mereka pernah melakukan hal yang sama pada diri Nabi Muhammad Saw.

Namun meski begitu, paham ke-Mahdian yang dijumpai pada jemaah ini masih bisa diterima oleh pemikiran wajar oleh masyarakat Islam umumnya, meskipun sekali lagi masing-masing orang punya deskripsi berbeda tentang hal itu.

Secara logika, didalam banyak ayat al-Qur'an, Allah telah memerintahkan agar kita menteladani apa saja yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw (Qs. al-Ahzaab 33:21), mengikuti apa-apa yang ditetapkan beliau (salah satunya Qs. at-Taghaabun 64:12 dan Qs. al-Anfaal 8:24) serta tidak membantah apa yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya (Qs. al-Ahzaab 33:36)


Adalah sudah umum, bahwa orang yang paling mengenal diri kita dan tahu apa dan bagaimana tingkah keseharian kita hanyalah keluarga terdekat kita, orang tua, istri, anak, cucu, menantu maupun orang-orang yang tinggal dan hidup bersama kita dalam kurun waktu yang lama. Begitupun dengan Rasul, tentunya orang yang paling banyak tahu dan mengerti tentang beliau adalah istri-istrinya, putri-putri kesayangannya, pamannya, keponakannya, cucunya, pengasuhnya dan baru para sahabatnya.

Pada awal pengangkatan Muhammad sebagai Nabi, beliau diperintahkan oleh Allah untuk mengajak terlebih dahulu keluarganya yang terdekat (Qs. asy-Syu'araa 26:210-214), dalam hal ini orang yang pertama kali mengikuti ajakan Rasul adalah istrinya yang tercinta, Khadijjah r.a, putri-putri beliau dari Khadijjah, kemudian saudara misannya yang telah tinggal bersama-sama dengan beliau, Ali Bin Abu Thalib dan baru selanjutnya menyebar kepada paman sekaligus saudara sesusuan beliau, Hamzah bin Abdul Mutholib dan sejumlah sahabatnya terdekat seperti Abu Bakar dan sebagainya.


Dalam beberapa Hadist lain yang diriwayatkan melalui jalur ahli Bait, Rasulullah Saw pernah bersabda :


"Wahai manusia, aku tinggalkan apa yang akan menghindarkan kamu dari kesesatan selama kalian berpegang teguh padanya, Kitab Allah dan 'Ittrahku, ahli Baitku."
(Riwayat Turmudzi dan Nasai dari Jabir).


"Aku tinggalkan padamu apa yang mencegah kamu dari kesesatan selama kamu berpegang teguh pada keduanya; Kitab Allah, tali penghubung yang terentang antara langit dan bumi, dan 'itrahku, ahli Baitku. Keduanya tidak akan berpisah sampai berjumpa denganku di al-Haud."
(Riwayat Ahmad dari Zaid bin Tsabit, diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah, abu Ya'la dan Ibnu Sa'ad dari Abu Sa'id serta Turmudzi dari Zaid bin arqam juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Riyadhush-Shalihin).


Allah telah menjadikan orang-orang suci dari keluarga Nabi Ibrahim melalui keturunan Nabi Ismail dan Nabi Ishaq, maka hal yang sama juga dapat terjadi pada Nabi Muhammad Saw dan garis keturunannya kecuali diantara mereka yang ingkar.

"Sesungguhnya manusia yang paling mendekati Ibrahim adalah mereka yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad Saw) serta orang-orang yang beriman (umatnya); adalah Allah pemimpin kaum Mu'minin."
(Qs. ali Imran 3:68)


Tatkala Nabi Ibrahim as ditunjuk oleh Allah selaku Imam bagi manusia, beliau bermunajat kepada Allah agar para keturunannya pun dapat menjadi orang-orang yang shaleh dan pengikutnya (Qs. al-Baqarah 2:124), namun dijawab oleh Allah bahwa petunjuk-Nya tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim meskipun dari keturunan Nabi Ibrahim as.


Sementara itu berbeda dengan jawaban Allah untuk ahli Bait Nabi Ibrahim, Allah berfirman dalam al-Qur'an sehubungan dengan ahli Bait Nabi Muhammad Saw :

"Sesungguhnya Allah bermaksud untuk menghilangkan dosa dari kamu wahai ahli Bait dan menyucikan kamu dengan sebenarnya."
(Qs. al-Ahzab 33:33)

Jadi sekali lagi, apabila memang benar Imam al-Mahdi itu berasal dari keturunan Nabi Muhammad Saw sebagaimana isi Hadist yang kita jumpai dalam kalangan ahli Bait, maka semuanya sama sekali tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan pemikiran yang wajar (rasionalitas).

"Dan orang-orang yang beriman dan di-ikuti oleh anak-cucu mereka dalam keimanannya itu, Kami akan hubungkan anak-cucu mereka dengan mereka serta Kami tidak mengurangi sedikitpun dari amal mereka, tiap-tiap orang bergantung dengan apa yang ia telah usahakan."
(Qs. ath-Thur 52:21)

Dalam salah satu Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari ketika menafsirkan surah al-Ahzab, yang juga diriwayatkan oleh Muslim dengan riwayat Ka'ab bin 'Ujarah :

"Ketika turun ayat ke-56 dalam surah al-Ahzaab yang memerintahkan orang-orang beriman untuk bersholawat kepada Nabi, bertanyalah para sahabat kepada Rasulullah Saw: 'Ya Rasulullah, mengenai ucapan salam yang harus kami tujukan pada anda, kamu telah mengerti. Tapi bagaimanakah kami mengucapkan sholawat ?"; Maka jawab beliau mengajarkan kepada mereka: 'Katakanlah: 'Allahumma Sholli'ala Muhammad wa'ala Ali Muhammad (Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu atas Muhammad dan keluarga Muhammad)."

Sholawat ini juga yang senantiasa dibaca oleh semua umat Islam dari jemaah manapun ia dalam setiap sholat mereka tidak perduli apa dan bagaimana cara pandang mereka terhadap generasi Rasulullah Saw.

"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersholawat atas Nabi; Wahai orang-orang yang beriman, bersholawatlah atasnya dan ucapkanlah salam dengan sebenarnya."
(Qs. al-Ahzab 33:56)



Kembali kepada paham Mahdihisme yang terdapat dalam jemaah Ahmadiyah dan jemaah Salamullah, keduanya menisbatkan al-Qur'an surah ash-Shaff ayat 6 untuk merujuk kepada pribadi Rasul yang dinubuatkan oleh Nabi 'Isa al-Masih pada diri Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmad Mukti.


"Wahai bani Israil ! Sesungguhnya aku ('Isa al-Masih), utusan Allah kepadamu, membenarkan Taurat yang sudah ada sebelumku, dan memberi kabar gembira tentang seorang Rasul sesudahku, bernama Ahmad !"
(Qs. Ash Shaff 61:6)


Dengan berdasarkan nama "Ahmad" ini, kedua jemaah sepakat menolak untuk menisbatkannya kepada Rasulullah Saw yang menurut mereka bernama "Muhammad" bin Abdullah bukan "Ahmad" bin Abdullah.


Sampai disini, pernyataan keduanya masih dapat kita terima, namun apabila secara bijak kita membuka beberapa buah berita Hadist yang dinisbatkan dari Rasulullah Saw maka akan kita dapati pula keterangan yang menyatakan bahwa "Ahmad" adalah salah satu dari beberapa nama dan gelar yang dimiliki oleh Muhammad bin Abdullah, utusan Allah.


Kedua nama ini berasal dari akar kata Hamd, yang berarti puji.
Kata Ahmad artinya orang yang banyak memuji, sedangkan kata Muhammad artinya orang yang sangat terpuji.

Nama Muhammad menunjukkan sifat kebesaran, kemenangan dan kemuliaan, yakni yang lazim disebut sifat Jalali.

Sejarah telah mencatat secara jujur dengan tinta emas mengenai kebesaran dan keagungan Nabi Muhammad Saw dalam berbagai bidangnya, baik mereka yang beriman kepadanya ataupun orang-orang yang sebenarnya mengambil sikap permusuhan dengan kebenaran yang beliau bawa dari Allah. Nama besarnya akan tetap menjadi yang paling masyur sepanjang jaman, keagungan sosok Nabi umat Islam ini melampaui kebesaran tokoh-tokoh yang paling berpengaruh selama-lamanya.


Sedangkan nama "Ahmad", lebih menunjukkan sifat keindahan, keelokan dan kehalusan budi, yakni jang lazim disebut sifat Jamali.


Allah menyukai hal-hal yang indah, dan Dia senantiasa mempergunakan kata-kata yang halus dan indah dalam setiap firman-Nya yang tercatat dalam al-Qur'an, dan istimewa kepada Nabi-Nya yang berfungsi selaku "Khatamannabi", Allah lebih sering memanggil beliau dengan nama "ya ayyuhannabi" (wahai Nabi) dan bukan "wahai Muhammad" sebagaimana yang kita jumpai dalam ayat-ayat al-Qur'an yang lain manakala Allah memanggil para Nabi sebelumnya. Nabi Muhammad Saw sebagaimana yang sudah diungkapkan, adalah sosok manusia yang berkepribadian tinggi, penuh welas asih dan sabar terhadap semua orang, baik mereka itu keluarganya, para sahabatnya bahkan juga terhadap perlakuan kejam para musuh-musuhnya.


Untuk ini Allah berfirman dalam al-Qur'an :


"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul (yaitu Muhammad) dari antara kamu, berat baginya penderitaanmu, sangat menginginkan kebaikan bagi kamu; amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min."
(QS. al-Bara'ah 9:128)


"Adalah karena rahmat dari Allah, kamu (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap kasar lagi berhati keras, tentulah mereka menjauhkan diri dari lingkunganmu."
(Qs. Ali Imran 3:159)

Inilah gambaran sesungguhnya dari nama "Ahmad" dan "Muhammad" yang melekat pada diri putera Abdullah dan Aminah dari garis keturunan Bani Hasyim yang merupakan generasi kesekian dari Nabi Ibrahim melalui benih Nabi Ismail as.


Beberapa Hadist berikut juga mengukuhkan akan nama lain dari Muhammad Saw yaitu Ahmad.


Dari Mut'im katanya :
Rasulullah Saw bersabda : 'Sesungguhnya aku mempunyai beberapa nama: Akulah Muhammad, *Akulah Ahmad*, Aku yang penghapus karena aku Allah menghapuskan kekafiran, Aku pengumpul yang dikumpulkan manusia dibawah kekuasaanku dan aku pengiring yang tiada kemudianku seorang Nabipun".
(Riwayat Muslim)

Dari Abu Musa Al Asy'ari katanya :
'Pernah Rasulullah Saw menerangkan nama diri beliau kepada kami dengan menyebut beberapa nama: Akulah Muhammad, *Akulah Ahmad, Aku pengiring dan pengumpul, Nabi (yang menyuruh) tobat dan Nabi (yang membawa) rahmat.'
(Riwayat Muslim)


"Hubunganku dengan kenabian seperti layaknya pembangunan suatu istana yang terindah yang pernah dibangun. Semuanya telah lengkap kecuali satu tempat untuk satu batu bata. Aku mengisi tempat tersebut dan sekarang sempurnalah istana itu". (Riwayat Bukhari dan Muslim)


Ibnu Marduwiyah telah meriwayatkan dari Ubay Bin Ka'ab, katanya :
"Aku telah diberi, apa yang tidak diberikan kepada Nabi-nabi Allah." Bertanya Ka'ab r.a: "Apakah itu, ya Rasulullah ?" Bersabda Rasulullah Saw: "Aku telah ditolong diwaktu ketakutan, aku diberi kunci pembuka bumi, Aku dinamai Ahmad. Dijadikan bagiku tanah untuk bersuci dan dijadikan umatku sebaik-baik umat."


Dari beberapa keterangan yang ada ini, maka nama "Ahmad" yang dimaksudkan oleh Nabi 'Isa al-Masih sebagaimana firman Allah pada surah ash-Shaaf ayat 6 sudah tentu merefer pada diri pribadi Nabi Muhammad Saw dan bukan diluar darinya.


Mungkin benar kita tidak pernah membaca tentang hadist yang menyebutkan bahwa nama "Ahmad" pada ayat tersebut diakui oleh Nabi Saw sebagai beliau Saw sendiri, namun didalam mengkaji dan mempelajari ilmu-ilmu Islam, kita tidak bisa hanya membaca apa yang tersurat secara kontekstual saja namun kita juga harus bisa dan pandai membaca apa-apa yang tersirat dari yang tersurat tersebut.


Disini letak penalaran atau rasionalitas berpikir kita dibutuhkan, tentunya kita bukan anak kecil yang harus diajari bagaimana cara memegang sendok, bagaimana mempergunakannya dan untuk apa fungsi sendok tersebut.


Dalam al-Qur'an surah al-Ahzaab ayat 33 dinyatakan :

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu. Tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup para Nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Ahzaab 33:40)

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tidak ada satu orangpun putera Nabi Saw yang hidup hingga menginjak usia dewasa, dan dengan demikian tidak ada yang bisa mengklaimkan dirinya sebagai "pangeran kenabian" yang dapat meneruskan perjuangan Rasulullah Muhammad Saw apabila suatu saat ia wafat, selain bahwa didalam Islam tidak mengenal warisan kenabian kepada keturunan.


Ayat diatas menurut saya justru menafikan pengklaiman kedudukan Nabi Muhammad sebagai seorang Bapak laki-laki bagi umatnya baik bapak dalam pengertian jasmani maupun bapak dalam pengertian rohani. Penyebutan para Istri Nabi sebagai Ummul Mu'minin atau Ibunya orang-orang yang Mu'min bukan berarti kita memerlukan Abdul Mu'minin atau Bapak orang-orang Mu'minin yang harus dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw.


Kedudukan Nabi Muhammad Saw jauh lebih agung daripada sekedar menjadi seorang bapak rohani, untuk itu beliau dinyatakan dalam kalimat penafian "Tetapi dia adalah Rasul Allah", dan sebagai Rasul Allah, tugas dan fungsionarisnya sangat kompleks dan menyeluruh, dia tidak hanya bertugas selaku seorang Bapak yang bisa saja bersifat subjektifisme terhadap anak-anaknya, namun Beliau Saw adalah pemimpin agama, masyarakat - negara dan bangsa yang mengedepankan sikap objektifitas terhadap siapapun, Beliau adalah guru dari murid-muridnya, baik murid-murid dalam kategori para sahabat maupun murid-murid dalam kategori musuh-musuhnya, Beliau Saw adalah tempat semua orang menempa ilmu dan pengalaman hidup.


Selanjutnya Nabi Muhammad Saw juga dinyatakan sebagai "penutup para Nabi", ini bukan satu penghinaan atau pelecehan bagi diri Rasul, malah ini menempatkannya dalam kedudukan yang tertinggi sebab beliau telah mendapatkan kemuliaan dari Allah untuk menjadi Nabi terakhir yang diutus untuk manusia dengan risalah atau aturan hukum menyeluruh kepada segenap manusia yang sebelumnya terpecah dengan masing-masing Nabi tersendiri pada setiap tempat dan periodenya, disesuaikan dengan kondisi dan situasi mereka masing-masing.


Jika agama Islam sebelum Nabi Muhammad Saw disampaikan oleh Nabi dari masing-masing bangsanya, seperti Musa dan Isa yang hanya diperuntukkan kepada Bani Israel, tetapi Nabi Muhammad Saw diutus oleh Allah untuk seluruh umat manusia disegala tempat di penjuru dunia ini dan disepanjang masa.


Dari semenjak Adam yang menjadi Nabi bagi putra-putrinya sendiri, disusul oleh Nabi Idris, Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shalih, Nabi Ibrahim, Nabi Luth, Nabi Ismail, Nabi Ishaq dan terus hingga kepada Nabi Musa dan Nabi Isa Almasih serta sejumlah besar Nabi dan Rasul yang tidak diceritakan didalam al-Qur'an, semuanya diutus hanya kepada bangsa dan golongan mereka sendiri hingga sampai pada diutusnya Nabi Muhammad Saw.

Sebagai Nabi penutup, tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh Muhammad sangatlah berat dan penuh resikonya, dia harus mampu menjadi contoh dan panutan, melebihi para pendahulunya.


Bisa anda bayangkan bagaimana anda harus mampu memimpin dan membina semua bangsa yang sebelumnya terpecah-pecah berikut dengan berbagai ragam budaya dan adat istiadat mereka didalam satu hukum yang anda komandoi ?

Disini Muhammad harus bisa bersikap lebih tegas dibanding Musa, memiliki kesabaran dan ketakwaan yang lebih tinggi sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Ibrahim, Ismail dan Ayyub.


Muhammad juga dituntut untuk memiliki kekayaan batin melebihi apa yang dimiliki oleh Nabi Sulaiman, keperkasaannya, keberaniannya dimedan pertempuran menghadapi musuh-musuhnya harus dapat melebihi kegagahan Nabi Daud dan Nabi 'Isa al-Masih, serta hubungan vertikalnya kepada Tuhan pun mesti melebihi penyampaian Adam yang merupakan manusia pertama yang dijadikan Allah sebagai Khalifah dibumi.


Alangkah beratnya amanah pangkat yang dilimpahkan oleh Allah kepada beliau Saw, namun sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwa semuanya terbukti mampu dilakukannya dalam hidupnya dan periode kenabiannya yang sangat singkat.


Jadi justru dibalik kepenutupan Muhammad atas segala Nabi itu menyimpan hakekat yang teramat sangat agung dan bukan sebaliknya, merendahkan derajatnya.


"Rasul-rasul itu Kami utamakan sebagian mereka atas sebagian yang lain." (Qs. al-Baqarah 2:253)


Setiap Nabi dan Rasul Allah memiliki kelebihannya tersendiri didalam menjalankan misi mereka kepada umatnya, tapi walau demikian, al-Qur'an justru melarang manusia untuk membeda-bedakan mereka, sebab kesemuanya adalah utusan Allah yang Maha Agung. Dan hanya Allah sajalah yang berhak untuk menilai derajat dari masing-masing Nabi-Nya itu, aturan tersebut berlaku kepada siapa saja tanpa terkecuali kepada Nabi Muhammad Saw selaku Nabi terakhir.

Masing-masing Nabi dan Rasul Allah itu memiliki misi yang sama, mengajarkan kepada umatnya mengenai Tauhid, bahwa Tidak ada sesuatu apapun yang wajib untuk disembah melainkan Allah yang Esa, berdiri dengan sendirinya, tanpa beranak dan tanpa diperanakkan alias Esa dengan pengertian yang sebenar-benarnya, bukan Esa yang Tiga alias Tritunggal.

Masing-masing utusan Allah itu diberi kelebihan tersendiri yang lebih dikenal dengan nama "Mukjizat", dimana tiap-tiap mukjizat ini diberikan sesuai dengan konteks jaman, kebudayaan dan cara berpikir manusia kala itu, meskipun ada juga beberapa mukjizat yang sama yang dimiliki antar Nabi dan Rasul Allah tersebut.

"Ucapkanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, 'Isa dan para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri".
(Qs. Ali Imran 3:84)

"Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya dan tidak membedakan seorangpun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Qs. An-Nisa' 4:152)

Tegas dan gamblang sekali penyataan ayat al-Qur'an diatas.
Disini saya ingin mengajak kita semua membahas satu persatu makna yang tersurat maupun tersirat dari kedua ayat diatas ini :

"Ucapkanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, 'Isa dan para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri". (Qs. ali Imran 3:84)

Ayat 3:84 ini dimulai dengan kata perintah penegas : Kul [Katakan!].
Siapa yang disuruh oleh Allah ini ? Jawabnya adalah merefer pada umat Muhammad Saw, yaitu kita kaum Muslimin seluruhnya.

Mari kita periksa ayat tersebut yang secara nyata mewajibkan bagi umat Muhammad menghilangkan rasa diskriminasi kenabian.

Kul 'Amanabillahi = Katakanlah! Kami [umat Muhammad] beriman kepada Allah
Wama unzila 'alaina = dan apa yang diturunkan kepada kami [yaitu al-Qur'an melalui Muhammad]

Wama unzila 'ala Ibrahim = dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim
Wa Isma'il = dan kepada Ismail
Wa Ishaq = dan kepada Ishaq
Wa Ya'qub = dan kepada Ya'qub
Wal Asbasi wama utiya Musa = dan apa yang diberikan kepada keturunan mereka dan juga kepada Musa

Wa 'Isa = dan kepada 'Isa
Wannabiyyu namirrobbihim = serta Nabi-nabi dari Tuhan mereka

Lanufarriku bayna ahadimminhum = dan kami [umat Muhammad] tidak membeda-bedakan diantara mereka [yaitu para Nabi dan Rasul itu].

Wanaghnu lahu muslimun = dan kepada-Nya [Allah] kami menyerahkan diri [Muslim]

Sekali lagi, ayat al-Qur'an diatas menafikan kerendahan derajat seorang Nabi dan Rasul dengan Nabi dan Rasul Allah yang lainnya, dan itu diberlakukan secara menyeluruh dengan kalimah "Lanufarriku bayna ahadimminhum".

Membandingkan antar Nabi yang satu dengan Nabi lainnya seperti yang dilakukan oleh banyak jemaah dan manusia rasanya adalah sudah melampaui apa yang diperintah oleh Allah sendiri dalam al-Qur'an, dan bertindak demikian berarti kita telah menyalahi al-Qur'an (dengan istilah kasarnya kita telah berdosa karena mengabaikan perintah al-Qur'an).

Bukan pada tempatnya bagi manusia untuk menilai kemuliaan derajat antar para utusan Allah sebab memang manusia pada dasarnya tidak pernah tahu dan tidak pernah mengerti mengenai hal tersebut, penegasan 3:84 ini diulang kembali oleh Allah pada ayat 2:136.

Pada ayat 2:253, 17:55 Allah dengan tegas mengatakan bahwa hanya Dia-lah yang patut mengadakan penilaian ketinggian derajat antar Rasul-Nya. Dan hal ini memang sudah sewajarnya sebab hanya Dia-lah yang lebih mengetahui dan memiliki otoritas penuh dalam menilai apa dan bagaimana karakter masing-masing utusan-Nya itu.

Kita sering mendengar adanya orang menyebut : "Nabi besar Muhammad...", jika begitu apakah ada Nabi kecil ? Tidakkah itu juga sudah melanggar apa yang diperintahkan oleh al-Qur'an diatas untuk tidak melebihkan antara para Nabi dan Rasul ?

Dalam catatan sejarah al-Qur'an dipaparkan bahwa Allah telah melebihkan serta memuliakan para Nabi-Nya seperti Musa [7:144], Daud dan Sulaiman [27:15], Isa Almasih [3:45-46], Muhammad [94:4], Ibrahim [2:124] dan lain sebagainya [Nuh, Ayyub, Harun dll] yang kesemuanya tercantum dalam ayat 4:163, 33:7 dan berbagai ayat lainnya yang tersebar dalam al-Qur'an.

Membeda-bedakan para utusan Allah dalam sudut pandang apapun hanya akan menyebabkan diskriminasi yang berkepanjangan yang dapat menyebabkan manusia terjerumus mendewakan salah satu dari mereka dan mencampakkan yang lainnya sehingga menimbulkan fitnah, khurafat dan pelecehan kepada mereka. Semua Nabi dan Rasul sebelum Muhammad wajib untuk dihormati, mereka semua adalah orang-orang yang suci dan telah mengantarkan kaumnya kepada peradaban yang mengenal nilai-nilai keTuhanan dan juga sebagai penyampai khabar gembira akan kehadiran Rasulullah Muhammad Saw selaku Nabi penutup.

Mungkin memang itu adalah salah satu bentuk kecintaan kita kepada Nabi Saw, namun jika apa yang kita lakukan itu justru tidak sesuai, apakah hal ini masih bisa diterima ?

Bagaimana pendapat anda jika demi untuk mencari keridhoan Allah maka sholat subuh kita tambah menjadi 4 raka'at ?

Ditinjau dari satu sudut, penambahan raka'at ini memang baik, tapi ditinjau dari sudut yang lain, maka tindakan ini salah dan tidak dibenarkan, sholat kita bukan diterima tapi malah ditolak.

Begitulah kira-kira gambaran surah ali Imran 3:84, dan sekarang kita beralih ke Surah an-Nisa' 152 :

"Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya dan tidak membedakan seorangpun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Qs. An-Nisa' 4:152)

Pada ayat diatas juga disebutkan bahwa "Orang yang Beriman kepada Allah dan para Rasul" ditekankan dengan penambahan kalimat "Dan tidak membedakan seorangpun di antara mereka".

Jadi kalimat keberimanan orang kepada Tuhan dan Rasul tidak sempurna jika mereka masih saja mengadakan perdebatan mengenai kemuliaan seorang Rasul dari Rasul yang lainnya, namun bagaimanapun juga secara manusiawi adalah wajar bila suatu saat kita lalai dan melakukannya tanpa kita sadari, untuk itulah pada bagian akhir ayat diatas diakhiri dengan pernyataan Allah : "Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Allah Maha Tahu dan Bijaksana, Dia sadar manusia tidak akan bisa lepas dari kefanatikannya kepada para Nabi mereka maka dari itu Allah mengampuni perbuatan kita tersebut dan tidak akan menghukum kita, tetapi Allah juga memberi persyaratan pengampunannya sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur'an Surah al-Maidah ayat 39 :

"Maka barangsiapa bertaubat sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri Maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Qs. al-Ma'idah 5:39)

Setelah sadar kita melakukan kesalahan, kita koreksi diri kita sendiri agar tidak mengulanginya kembali dilain waktu maka bertaubatlah kepada Allah atas kesalahan yang kita buat maka niscaya, jika kita ikhlas melakukannya, maka Allah akan mengampuni kita.

Kembali kita pada pembahasan surah al-Ahzaab ayat 33 :

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu. Tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup para Nabi.
Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Qs. al-Ahzaab 33:40)

Bahwa pada bagian terakhir ayat ini dinyatakan "Allah Maha Mengetahui segala sesuatu", sesungguhnya mengandung pesan dan tujuan yang besar. Persoalan Muhammad sebagai "penutup para Nabi" telah diketahui akan menimbulkan kontroversi dari manusia dengan penafsirannya yang berjuta macam.

Jemaah Ahmadiyyah menolak arti dari "Khatamannabi" sebagai kepenutupan Rasulullah Muhammad Saw sebagai Nabi Allah yang berarti terputusnya rantai wahyu kepada manusia dan pernyataan semacam ini justru merendahkan keagungan Nabi Muhammad dan sebagai penghalang rahmat kenabian kepada umat.

Menurut hemat penulis, adalah sesuatu hal yang muskyil sekali apabila rahmat Allah akan menjadi terputus dengan posisi Muhammad selaku Nabi penutup, tidak ada satupun rahmat Allah yang dapat terputus dan tidak ada sesuatu yang mampu menghalangi kehendak-Nya apabila Dia sudah menetapkan perkara sesuatu.

"Apapun rahmat yang Allah limpahkan untuk manusia, maka tidak ada sesuatupun yang bisa menghalanginya, dan apa-apa yang Dia tahan maka tidak ada sesuatupun yang dapat melepaskannya."
(Qs. fathir 35:2)

"Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melewati batas atas diri kalian sendiri, janganlah kamu berputus harapan dari rahmat Allah; sungguh Allah mengampunkan semua dosa-dosa karena Dia adalah Pengampun, Penyayang." (Qs. az-Zumar 39:53)

"Sesungguhnya, orang-orang yang benci kepada kamu, itulah orang yang terputus." (Qs. al-Kautsar 108:3)

Dalam artikel "Perbedaan Nabi dan Rasul" yang pernah penulis tayangkan diberbagai milis (termasuk eramuslim@, myquran@yahoo dan myquran@google..) beberapa waktu yang lalu telah penulis catatkan secara rinci dengan penguraian yang panjang lebar dimana letak beda posisi seorang Nabi dengan posisi seseorang selaku Rasul.

Bahwa pintu kenabian telah tertutup semenjak datangnya Nabi Muhammad Saw dengan ajaran Islam yang universal dan sempurna bagi umat manusia sepanjang masa dan jaman, namun pintu ke-Rasulan akan tetap berjalan seiring dengan peradaban manusia yang ada (silahkan baca kembali artikel tersebut - dan bagi yang belum mendapatkannya bisa menghubungi saya melalui alamat pribadi).

Selain itu, dalam salah satu riwayat dikatakan bahwa Nabi Saw telah bersabda :

"Allah tidak akan mengirimkan Nabi lagi sesudahku, tetapi hanya Mubashshirat"
Dia menukas: Apakah al-Mubashshirat tersebut ?. Lanjut beliau : Mimpi yang baik serta petunjuk yang benar.".
(Musnad Ahmad, Marwiyat Abu Tufail, Nasa'i, Abu Dawud)

Disini Rasulullah banyak memberikan arahan bahwa sepeninggal beliau Saw, tidak akan pernah ada lagi Nabi yang diutus untuk umat manusia, namun keterputusan wahyu kenabian ini tidak pernah menghalangi wahyu kebaikan bagi diri manusia, selama peradaban masih ada, langit tetap biru dan gunung-gunung tetap menjulang maka selama itu pula akan ada hamba-hamba Allah yang Shaleh yang menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan apa yang sudah diwahyukan Allah melalui Nabi Muhammad Saw.

Allah, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw dalam hadist lainnya, akan menurunkan Mubassyirah dan Mujaddid kepada umat Islam selaku perpanjangan dan keterbukaan rahmat Allah Swt sepeninggal Rasulullah Saw.

"Sesungguhnya Allah Swt akan mengirimkan untuk ummat ini pada permulaan setiap seratus tahun Mujaddid yang akan memperbaharui agama." (Riwayat Abu Daud)

Para Mujaddid atau pembaharu yang mendapatkan hikmah (Mubassyirah) inilah yang nantinya akan meneruskan perjuangan Nabi Muhammad Saw dalam rangka meluruskan dan mengoreksi kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh manusia terhadap ajaran Allah Swt. Bila dulu masing-masing kaum masih memerlukan kedatangan Nabi-nabi baru guna meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi terhadap ajaran Nabi sebelumnya, namun dengan turunnya Muhammad Saw yang membawa rahmat bagi seluruh alam, tidak ada lagi yang perlu diluruskan karena ajarannya bersifat universal, menyeluruh dan sangat manusiawi serta ilmiawi.

Risalah Islam yang dibawa oleh Muhammad tersebar keseluruh dunia oleh para sahabat dan kaum Muslimin yang sudah diatur oleh Allah sebagai "utusan-Nya", dalam setiap pergantian abadnya juga diberitakan Allah akan melahirkan manusia-manusia pandai selaku mujaddid yang akan menyelaraskan Sunnah-Nya sesuai dengan konteks jaman yang berlaku saat itu.

Dengan demikian, dari satu sudut pandang ini, umat manusia tidak lagi memerlukan adanya Nabi-nabi baru, manusia sudah memiliki al-Qur'an, manusia sudah memiliki as-Sunnah, manusia juga sudah diperintahkan untuk merujuk pada ahli Bait Nabi dan manusia pun sekarang sudah punya kemampuan ilmiah untuk membuktikan dan menyebarkan ajaran Islam selaku Mujaddid.

Allah sendiri sudah berfirman dalam Surah al-Maidah ayat 3 betapa Risalah yang dibawa oleh Muhammad Saw sudah lengkap dan sempurna, tidak ada lagi yang perlu ditambah atau direnovasi.

"Pada hari ini orang-orang kafir telah berputus asa daripada agama kamu. Karena itu, janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi hendaklah kamu takut kepada-Ku.
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agama kamu dan telah Ku-cukupkan atasmu ni'mat-Ku, dan Aku telah ridho Islam itu sebagai agama buat kamu."
(Qs. al-Ma'idah 5:3)

Ibarat sebuah buku yang sudah diperbanyak dan tinggal lagi pihak penerbit atau pihak agen menyebarluaskan buku tersebut kepada masyarakat untuk kemudian para pembaca atau para cendikiawan memberikan penafsiran yang lebih luas terhadap kandungan isi buku tersebut sesuai dengan konteks keadaan yang berlaku (Dalam konteks agama para pembaca atau para cendikiawan inilah yang kita sebut dengan Mujaddid).

Sejenak kita beralih pada pengklaiman Lia Aminuddin yang menyatakan tentang kemustahilan bagi Iblis untuk bisa memasuki wilayah Madinah terlebih lagi didepan makam Rasulullah Saw sebagaimana yang pernah ditulis dalam bagian pertama dari artikel ini. Menurut penulis, pernyataan dari pemimpin jemaah Salamullah ini tidaklah bisa dipertanggung jawabkan, baik secara rasionalitas, sejarah maupun al-Qur'an sendiri.

Kota Mekkah dan kota Madinah adalah dua kota yang biasa saja, kota yang sama dengan kota-kota lain yang ada dipenjuru dunia ini, dan kejahatan senantiasa beriring-iringan dengan kebaikan dalam setiap kesempatan.

Dalam diri manusia ini terdapat dua kubu yang saling bertolak belakang, yaitu kutub negatif yang senantiasa mengajak kepada jalan yang salah dan kubu positif yang condong kepada nilai kebenaran. Dimana ada nafas kehidupan, maka disana juga akan ada nafas kebenaran serta nafas kebatilan.

Sabda Nabi Muhammad Saw :
"Sesungguhnya syaitan itu berjalan dalam diri manusia menurut perjalanan darahnya." (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Jika begitu adanya, bagaimana mungkin kita melepaskan syaitan dalam diri kita dengan hanya memasuki kawasan kota Mekkah dan kota Madinah ?

Masih menurut penulis, bahwa kedua kota ini disebut suci karena disana terdapat Baitullah (masjidil haram) dan pusat penyebaran Islam pada masa pengutusan Nabi Muhammad Saw. Sejarah mencatat adanya nafsu angkara murka, nafsu kebencian, ajang pertumpahan darah yang tidak pernah berhenti dari sebelum kelahiran Nabi Muhammad Saw sampai sesudah wafatnya beliau (lihat kasus pembantaian penduduk Madinah dan penembakan Ka'bah oleh dinasti Muawiyah).

Sebelum periode kenabian, kota Mekkah adalah tempat pemujaan berhala, kota yang penuh dengan kemusryikan, dimana wanita sama sekali tidak dihargai, kelahiran anak wanita dianggap sebagai suatu kesialan dan halal darahnya untuk dibunuh meskipun ia masih bayi, perbudakan terjadi dimana-mana, arak dan judi merupakan kebiasaan sehari-hari masyarakat kota Mekkah maupun Madinah (waktu itu bernama Yatsrib).

Sepeninggal Rasulullah Saw, kota Madinah dijadikan ajang perebutan kekuasaan antar sekelompok orang, disana orang telah berani menumpahkan darah Khalifah Abu Bakar, darah Khalifah Umar dan darah Khalifah Usman bin Affan, tiga orang sahabat terdekat dengan Rasulullah.

Dikota Madinah ini juga Yazid dan para tentaranya telah pernah melakukan pembantaian berdarah terhadap para sahabat Nabi dari kaum Anshar dan Muhajirin yang masih hidup, bahkan makam Rasulullah Saw sendiri pernah hampir dihancurkan oleh kaum Wahabi yang menduduki kota Madinah pada awal abad ke-19 dibawah pimpinan dinasti Saud yang menamakan diri mereka sebagai "al-Muwahhidun" atau para pemurni tauhid yang bertujuan untuk mencegah pengkultusan terhadap kuburan Nabi Saw.

Kota Mekkah pun tidak luput dari bencana, pada 17 Rajab 62 H, Ka'bah pernah dijadikan sasaran tembak meriam (mortir) atas perintah Yazid bin Mu'awiyah manakala pemimpin kota Mekkah yang kala itu dijabat oleh Abdullah Zubair menolak pengangkatan Yazid selaku Khalifah.

Tanggal 19 Sya'ban 1039 H, Ka'bah tenggelam oleh genangan banjir yang menyebabkan retaknya dinding-dinding Ka'bah dan beberapa batunya runtuh bertebaran, pemimpin kota Mekkah kala itu, Syarif Mas'ud bin Idris meminta bantuan kepada pemerintah Turki yang dipegang oleh Sultan Murad Khan untuk memperbaiki kondisi kota Mekkah dan Ka'bah yang selanjutnya perbaikan itu baru usai dibulan Dzulhijjah 1040 H dimasa kepemimpinan Amir Syarif Abdullah bin Hasan bin Abu Namir.

Dari semua ini, semakin jelaslah betapa kelirunya pernyataan dari Lia Aminuddin sehubungan dengan kota Mekkah dan Madinah.

Selama-lamanya, Iblis tidak pernah berhenti untuk menyesatkan dan menjerumuskan manusia dari jalan Allah yang lurus.
Islam menentang keras sikap pengkultusan individu dan juga pengkeramatan sesuatu benda sehingga bisa menggelincirkan akidah Tauhid umat manusia.

Makam Nabi Muhammad Saw tidak ada perbedaan dengan makam manusia manapun diatas dunia ini, beliau adalah manusia biasa seperti kita adanya, beliau makan apabila lapar dan beliau minum manakala haus, waktu tiba rasa kantuknya beliau juga tidur, dalam pertempuran wajahnya terluka kena pedang musuh, semuanya adalah alamiah.

Kuburan Rasul tidak mengandung kekeramatan apapun, ajarannya sajalah yang mesti kita hormati dan kita agungkan bukan tanah merah dimana jasadnya telah ratusan tahun bersemayam dengan tenang itu yang justru kita isi dengan ketakhayulan sebagaimana cerita Lia Aminuddin.

Makam Nabi Muhammad Saw dahulunya tidak menjadi satu dengan Masjid Nabawi, makam tersebut dibangun diatas bekas rumah istrinya, Ummul Mu'minin 'Aisyah r.a.

Disini penulis berpendapat bahwa Lia Aminuddin jelas-jelas telah terkena tipu daya Iblis yang licik dan licin.

Bukankah dia sudah berjanji akan menyesatkan manusia dari jalan Allah dengan segala tipu dayanya ?

"Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh, syaitan-syaitan /dari/ manusia dan jin, sebahagian mereka membisikkan kebohongan kepada sebahagian yang lain sebagai tipu daya."
(Qs. al-An'aam 6:112)

"Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum daku tersesat, maka tentu aku akan menghalangi mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian aku akan mendatangi mereka dari depan dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka Sehingga Engkau tidak akan mendapati kebanyakan dari mereka itu berterima kasih."
(Qs. al-A'raaf 7:16-17)

"Tuhan berfirman: "Pergilah ! barangsiapa di antara mereka yang mengikuti kamu, maka sesungguhnya Neraka Jahannam adalah balasanmu semua, sebagai suatu pembalasan yang cukup. Dan bujuklah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukanmu yang berkendaraan dan yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Sesungguhnya tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka. Sesungguhnya hamba-hambaKu, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Tuhanmu sebagai Penjaga".
(Qs. al-Israa' 17:63-65)

Sudah sepatutnya orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya untuk tidak mudah tertipu oleh pernyataan sekelompok orang-orang yang mungkin saja sudah terjerumus kedalam perangkap Iblis dan pasukannya.

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya."
(Qs. al-Israa' 17:34)

"Adakah manusia menyangka bahwa mereka tidak akan dibiarkan berkata: "Kami telah beriman !", Padahal mereka belum diuji ? Dan sesungguhnya, Kami telah menguji orang-orang sebelumnya. Maka sungguh, Allah mengetahui orang-orang yang benar. Dan sungguh Dia mengetahui orang-orang yang berdusta."
(Qs. al 'Ankabut 29:2-3)

"Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang telah baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka."
(Qs. al-Israa' 17:5)

"Hai Bani Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari Jannah..."
(Qs. al-A'raaf 7:27)

"Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Pemurah, Kami adakan baginya syaithan maka setan itulah yang menjadi teman yang senantiasa menyertainya."
(Qs. az-Zukhruf 43:36)

"Katakanlah : "Aku berlindung kepada Tuhan manusia, Raja manusia, Sembahan manusia dari kejahatan setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan kedalam dada manusia, dari Jin dan manusia."
(Qs. an-Naas 114:1-6)

Adanya pendapat sekelompok orang yang menyatakan bahwa diri Nabi Isa Almasih putra Maryam masih hidup disalah satu planet dalam jajaran semesta raya Allah dan akan turun kembali pada masanya nanti masih menurut pendapat penulis bukan suatu hal yang tidak masuk akal dan tidak pula berarti telah merendahkan derajat kenabian Muhammad Saw.

Secara rasionalitas, meskipun dalam masalah ini pendapat saya justru berbeda, panjangnya usia Isa al-masih dibanding Nabi Muhammad Saw tidak berarti rendahnya derajat Nabi Muhammad ketimbang Nabi Isa.

Ada banyak Nabi dan Rasul sebelum kedatangan Muhammad Saw yang memiliki umur sangat panjang melebihi umur yang dicapai oleh Rasulullah Saw. Tercatatlah usia Nuh yang mencapai lebih dari 950 tahun, Nabi Ibrahim, bahkan pada kisah Ashabul Kahfi dikisahkan mereka berusia lebih daripada 309 tahun (buka Qs: 18:25).

Iblis sendiri diberikan oleh Allah usia yang panjang :

"Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya kecuali sebahagian kecil".
(Qs. al Israa' 17:62)

Apakah dengan begitu berarti Iblis lebih mulia dari Nabi Muhammad Saw ?

Islam sama sekali tidak mengajarkan reinkarnasi, jika Nabi Isa as memang sudah wafat, apakah tidak mungkin jika dibangkitkan kembali sebagaimana kisah yang dialami oleh ash-habul kahfi ?

Secara pribadi, penulis cenderung berkeyakinan bahwa Nabi 'Isa al-Masih sudah wafat secara alamiah dibumi ini dan penulis memiliki penafsiran yang berbeda mengenai adanya riwayat-riwayat yang mengatakan kedatangan putera Maryam ini menjelang kiamat nanti.

Tapi diluar ini semua, bila memang benar 'Isa al-masih akan hadir kembali, rasanya adalah lebih bijaksana jika Nabi 'Isa al-masih yang sesungguhnya-lah yang akan hadir, bukan melalui wujud atau sosok orang lain seperti Mirza Ghulam Ahmad maupun sosok Ahmad Mukti.

Namun pertanyaannya ... out of contecs - untuk apa sebenarnya pengutusan al-Masih ini kedua kali ? Bukankah sudah ada al-Qur'an dan bukankah sudah diutus Nabi Muhammad Saw yang posisinya juga sebagai "penghancur salib" dan "pembunuh babi" ?

Okelah, biar ini menjadi pemikiran kita bersama.
Sekarang kita beralih kepada argumen lain yang dikemukakan oleh Jemaah Ahmadiyah dan Salamullah tentang banyaknya kejadian-kejadian alamiah yang melatar belakangi kebenaran kedua Jemaah ini, tetap menurut penulis bukanlah satu bukti mengenai kebenaran yang mereka dakwakan.

Kaum Ahmadiyyah misalnya, berpegangan kepada sebuah Hadist yang tercantum dalam Kitab Darul Qutni, bahwa sebuah Tanda bagi kedatangan Imam Mahdi yang dijanjikan itu, yang tidak pernah terjadi sejak bumi dan langit ini diciptakan, adalah peristiwa gerhana bulan dan matahari dalam satu bulan Ramadhan pada tanggal-tanggal yang telah ditetapkan.

Yakni, gerhana bulan itu akan terjadi pada tanggal pertama dari tanggal-tanggal biasanya bulan bergerhana (tanggal 13, 14, dan 15). Sedangkan gerhana matahari tersebut akan terjadi pada tanggal pertengahan dari tanggal-tanggal biasanya matahari mengalami gerhana (tanggal 27, 28, dan 29).

Kedua gerhana tersebut telah terjadi dalam bulan Ramadhan tahun 1894, dan kedua bayangan gerhana itu melintasi wilayah desa Qadian. Gerhana bulan terjadi pada tanggal 13, dan gerhana matahari pada tanggal 28.

Kejadian yang hampir mirip juga dijadikan salah satu hujjah oleh Jemaah Salamullah, yaitu kejadian gerhana bulan total pada tanggal 17 September 1997 PK. 24.00 WIB di Wisma Nasio Cipanas, Puncak.

Jemaah Salamullah dikabarkan juga seringkali mengalami penampakan tulisan-tulisan Allah, Isa, Salamullah dan lain sebagainya dilangit tinggi, dan mereka menganggap bahwa itulah salah satu bukti kebenaran hujjah mereka.

Hal semacam ini sebenarnya jika kita baca dalam sejarah, sudah sejak lama dipatahkan oleh Nabi Muhammad Saw sendiri manakala terjadi gerhana matahari sewaktu kematian puteranya, Ibrahim hasil perkawinannya dengan Maria orang Kopti yang dianggap oleh kaum Muslimin sebagai mukjizat dari Allah pertanda alam semesta turut bersedih atas kematian putra Nabi.

Tapi apa kata Nabi Muhammad Saw ?

"Matahari dan Bulan adalah tanda kebesaran Tuhan, yang tidak akan terjadi gerhana karena kematian atau hidupnya seseorang. Kalau kamu melihat hal itu, berlindunglah dalam dzikir kepada Tuhan dengan Sholat."

Jika Rasulullah Saw sendiri menyatakan ketidak absahannya fenomena alam bila dikaitkan dengan hidup-matinya seseorang, maka bagaimana pula Ahmadiyyah memutar balikkan fakta mengenai Mirza Ghulam Ahmad sementara Salamullah melalui Lia Aminuddin-nya ?

Selain itu, baik Salamullah maupun Ahmadiyyah, kendati keduanya saling bertentangan tetapi mereka membenarkan peristiwa terjadinya penyaliban atas diri Nabi Isa Almasih diatas bukit Golgotta.

Perbedaannya bahwa jemaah Ahmadiyyah mengklaimkan turunnya putra Maryam itu dari atas kayu salib dalam keadaan luka-luka oleh murid-muridnya untuk kemudian diobati mereka sementara Salamullah menyatakan turunnya Isa putra Maryam ini dari atas kayu salib dengan proses penghilangan untuk kemudian melebur kedalam sistem kemalaikatan. (baca artikel: Isa al-masih versi Salamullah)

Tidakkah kita lihat bersama betapa bertolak belakangnya kedua pemahaman masing-masing Jemaah ini ?

Bagaimanapun sudut pandang anda mengenai fenomena al-Mahdi dan turunnya al-Masih ini semuanya tergantung dari diri anda sendiri.

Saya tidak suka memperdebatkan sesuatu yang tidak menghasilkan kesudahan, penulisan ini dibuat semata untuk mengajak kita semua berpikir dan mengkaji didalam kerangka mencari kebenaran.

Penulis sendiri tidak berada dalam salah satu kelompok yang ada, bagi penulis, Islam tidak pernah ada pecahan maupun aliran, kewajiban kita untuk taat dan berba'iat kepada Allah dan Nabi Muhammad Saw, menjadi keharusan pula bagi kita untuk mencintai, menghormati dan mengasihi para keluarga Rasul, bagaimanapun mereka adalah orang-orang yang kesuciannya dijamin oleh Allah dalam kitab-Nya.



Wassalam,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal-Usul Desa Ngrayun

Neptu dino lan pasaran

Proposal Pelatihan Kader Dasar PK.PMII Sunan Giri Ponorogo 2011